Langsung ke konten utama

MEMBACA "KESEPIAN" RENDRA, MENYIMAK "KESENDIRIAN" KITA





Membaca “Kesepian” Rendra
Menyimak “Kesendirian” Kita

Oleh Edy Soge
Mahasiswa Semester III STFK Ledalero

“Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.” (W.S. Rendra)
“Aku tak pandai sendiri
Aku ganjil yang ingin tergenapi.” (Andi Gunawan)

Kesepian dan kesendirian adalah pengalaman eksistensial manusia, human being yang in der Welt sein atau being in the world. Kesepian, situasi jiwa dan kognitif yang tidak tentram karena harapan yang tak sampai digapai, rindu yang tak ada habisnya, menunggu dalam risau dan gelisah. Kesendirian, keberadaan sendiri dalam kesiapan dan kerelaan untuk secara kreatif merenungi diri. Kesepian dan kesendirian adalah dua hal yang berbeda, lonely and loneliness are two different thigs. Kita memiliki pengalaman itu karena demikianlah realitas eksistensial kita. Rendra meskipun cakap mengolah pikiran (panggrahito), penghayatan batin (suroso) dan tajam secara inderawi, toh tampak sentimental dan melankolis. Ia seorang seniman yang tahu betul kesepian itu milik manusia ketika menghadapi kemerdekaan tanpa cinta dan karena cinta telah sembunyikan pisaunya. Di rumah sunyi Wisma St. Arnoldus Nitapleat, kita berpijak kokoh berusaha mapan secara intelektual dan berani berjuang menerima risiko kesepian karena tidak memiliki seorang perempuan sebagai pendamping hidup. Baiklah kita menyimak “kesendirian”[1] kita lewat puisi KANGEN[2]  karya W. S. Rendra[3].
Membaca Kesepian Rendra
            Kesepian adalah konsekuensi dari mencintai. Tidak ada cinta tanpa kesepian. Rendra, penyair kelahiran Kampung Jayengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah, 7 November 1935, memiliki cinta itu dengan narasi penolakan sebagai akobat dari rasa ditinggalkan: ia sepi sendiri, tungku tanpa api. Inilah episode paling menggelisahkan. Berat memang. Ia sendiri mengatakan bahwa kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan sebab membayangkan wajah kekasih adalah sebuah siksa. Ia mengungkapkan kesepiannya secara jujur dan lengkap lewat puisinya berikut ini.

KANGEN[4]
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti aku tungku tanpa api.

Ekspresionisme[5] Rendra dalam sajak di atas membawa pembaca pada realitas batin yang disayat habis-habisan oleh pisau asmara yang bernama rindu, atau Rendra dengan polos dan lugu menyebutnya, kangen. perasaan ini lahir karena adanya kebersamaan relasional intim, intimacy dari dua orang anak manusia: laki-laki dan perempuan sbelum ada yang pergi. Persekutuan cinta tidak selamanya langgeng secara fisik sebab ekistensi manusia di dalam dunia terbatas. Ada waktu manusia hidup dalam ruang yang berbeda. Kebersamaan akan mendapat makna sebenarnya apabila ada perpisahan dan sebuah kepergian yang kekal. Menghadapi situasi ini jiwa tersiksa. Jiwa bisa saja memberontak dan menolak. Penolakan itu Rendra tampilkan pada baris ini: Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku. Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta. Kau tak akan mengerti segala lukaku. Karena cinta telah sembunyikan pisaunya. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Saya membaca baris-baris kalimat ini sebagai feeling penyair akan sebuah penolakan. Diksi perasaan yang kental.
            Pengalaman psikologi macam ini bisa saja mengganggu rasionalitas. Orang bisa terjebak dalam melankolia, hanyaut dalam rasa keterasingan dan ketakutan. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan, dan ingatan akan dia menjadi usaha yang sia-sia sebab taka da yang bisa digapai lalu tersiksa. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Dia menjadi sesuatu yang lain, yang menakutkan. Dia telah menjadi racun bagi darahku. Namun kesadaran dan kepasrahan tetap menjadi bagian di dalamnya. Kesadaran bahwa saya memang sedang sendiri dalam kesepian dan rasa rindu, kangen. Apabila aku dalam kangen dan sepi. Itulah berarti aku tungku tanpa api. Baris terakhir menjadi sense yang menarasikan kesepian hebat yang dialami oleh penyair. Rendra mengungkapkannya secara jujur dan lugu.

Menyimak Kesendirian Kita
            Kesendirian kita adalah realitas hidup yang lepas bebas tanpa terikat oleh perkawinan. Ini bukanlah panggilan hidup tanpa risiko. Pada kesemptaan retret dalam pertemuan bersam pembimbing saya menemukan jawaban sebagai konsekuensi yang harus diterima dari pilihan hidup membiara. Suster pembimbing mengatakan bahwa frater engkau harus siap menerima risiko kesepian. Saya piker jawaban ini dan masuk akal sebab pada kodratnya manusia laki-laki dan perempuan harus hidup bersama. Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan. Allah tidak pernah menciptakan hanya satu orang manusia sebab tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18). Hakikat penciptaan adalah sebuah dinamika relasional natara laki-laki dan perempuan.
            Kita pada waktu tertentu akan mengalami (atau mungkin “menikmati”) dinamika rasa rindu dan kangen. Kita bergulat dengan gejolak emosi dan kerinduan untuk dibelai, dicium, dan dipeluk. Adalah manusiawi jika kita mengalami dan menerima fakta kemanusian itu. Apabila kita menolak atau seolah-olah tidak menyadarinya itu berarti kita salah menghidupi kemanusia kita. Keterbukaan psikologi dan kognitif pada problem emisional sangat  dibutuhkan. Tidak usah gelisah dan takut. Kesepian adalah pengalaman istimewa yang membuat kita bertumbuh dan pada waktunya berbuah.
            Pilihan pada hidup menyendiri memberi ruang pada kreativitas. Kita tidak terikat pada siapa dan apa. Kita terbenam dalam sunyi dan menziarahi semesta raya. Kita diilhami untuk melihat dengan mata spiritual. Kesendirian kita pada tempat ini seharusnya membawa kita pada perjumpaan yang personal dan intens dengan Tuhan. Biarlah keheningan yang berbicara. “Diamlah dan ketahuilah Allah (Mzr. 46:11). Dengan ini kita dapat berbuat banyak. Kita dapat membaca dengan penuh konsentrasi, menulis dengan gairah yang mendalam, dan berdoa denga penuh penyerahan diri. Dalam ruang kesunyian dan keheningan kita dimungkinkan untuk lebih kreatif mengeksplorasi diri, mengenal baka dan kemampuan, dan mengembangkan diri menjadi lebih bernas sehingga berguna bagi hidup bersama.
Thomas Merton menulis, “aku tinggal di dalam hutan karena membutuhkannya. Aku bangun di tengah malam karena harus mendengar keheningan malam, sendiri, dan dengan wajah menyentuh lantai, melantunkan mazmur, sendiri, dalam keheningan malam”.inilah dinamika penghayatan kesendirian seorang rahib.
            Semoga kesendirian kita dengan kesepian yang khas membuat kita semakin jujur dan terbuka dengan realitas batin yang dialami. Rendra menunjukkan kejujuran emosional lewat puisi sedangkan kita lewat kreativitas pribadi yang dimiliki oleh masing-masing kita. Apapun bentuk kreativitas itu tentu menjawabi geriduh jiwa dan gelora rindu. Menjawabi kesepian dan kesendirian penyair menulis puisi untuk merapikan jiwa, meneguhkan batin dengan kata agar kemanusiannya menjadi setegar karang seputih buih. Penyair memilih puisi “karena memiliki karakteristik yang paling mampu menghadirkan makna dan melimpahi dan meneguhkan kesadaran” (Marin Heidegger).
            Saya mengakhiri tulisan ini dengan puisi yang saya beri judul “Kuk Rindu”.

Rindu adalah beban paling setia
yang senantiasa memiliki pundak

Ada kelelahan yang merona pada setiap butir peluh
yang berderit pada pori-pori kenangan

Beban tanapa lelah adalah ilusi,
sebagaimana kau tahu, aku kecapaian
tapi lelah ini adalah salju
mengajarkan aku mencintai tubuh memeluk jiwa

Ah,
Kuk rindu adalah dirimu
yang manis dan manja

                                                            Nitapleat, Hujan Rintik Pertama, Awal November 2019.
           



[1]Saya memahami kesendirian kita dalam konteks relasi (intimitas) atau persekutuan cinta laki-laki dan perempuan. Eviden bahwa kita hidup sendiri tanpa seorang kekasih, pendamping jiwa yaitu perempuan. Kita tidak beristri, meskipun Tuhan bersabda, tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja (Kej. 2:18). Dengan ini kita dituntut untuk siap dan terbuka menanggup salib kesepian. Namun kita  juga perlu menyadari bahwa kesendirian kita memiliki dimensi spiritual (ikut Yesus) dan dimensi kreativitas, kensendirian yang mencipta. Kesendirian kita bukanlah realitas katastrof melainkan sikap hidup lepas bebas, keberanian untuk beralih dari “kota”, dari hiruk-pikuk peradaban menuju “bukit sunyi”, ruang perjumpaan dengan Tuhan dan dengan diri sendiri, kemudian darinya kita sanggup “berbuat banyak”. Di rumah Wisma St. Arnoldus Nitapleat kita berusaha untuk berdamai dengan diri dan terbuka terhadap realitas. Kita sebetulnya menjadi lebih kreatif dalam kesendirian.
[2]Puisi ini melukiskan totalitas kesepian Rendra. Ketika jauh dari orang yang dicintai segalanya menjadi luka menjadi duka. Pengalaman psikologis subjektif menyinggung inti diri dan sebagai penyair Rendra narasikan kegalaun hebat yang dialami ke dalam puisi yang merupakan bahasa hati, bahasa rasa. Dalam kesepiannya proses kreatif Rendra masih tetap hidup.
[3]Memiliki nama lengkap Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo. Lahir pada 7 November 1935, pukul 17.05, Kanis-Kliwon di kampung Jayengan. Ayahnya Brotoatmojo, seorang guru Bahasa Indonesia dan Jawa Kuno. Ibunya bernama Raden Ajeng Ismadillah, anak seorang wedana keraton yang menurus minuman danke lender. Orang tuanya menyekolahkan Rendra di sekolah Katolik milik Yayasan Kanisius yang dikelolah oleh suster Fransiskan dari Misi Katolik Belanda. Di sekolah itu Rendra diajarkan untuk menganalisis secara ilmiah dan berani mengungkapkan diri secara kreatif, bebas dan teratur. Di rumah dalam asuhan seorang kerabat (Mas Janadi) Rendra diajari kesadaran pancaindera, kesadaran pikiran, dan kesadaran naluri. Iklim pendidikan di sekolah dan di rumah yang demikian menumbuhkan jiwa senimannya yang menghargai realisme dan asyik masuk dalam filsafat, mistik,  ilmu pengatahuan, dan agama. Setelah SMA Rendra melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Jurusan Sastra Inggris. Pada tahun 1964-Agustus 1967 lanjut belajar di American Academi Of Dramatic Arts. Sepulangnya dari Amerika bersama teman-temannya Rendra membentuk Bengkel Teater yang cukup produktif di tahun 70-an sampai 1978. Rendra selain sebagai penyair yang berhasil dalam pembacaan puisi-puisinya (Blues Untuk Bonnie, Rick Dari Corona, Nyanyian Angsa, Khotbah, Di Antara Pilar-Pilar), ia juga seorang dramawan profesional. Karya-karyanya berupa kumpulan puisi: Balada Orang-Orang Tercinta (Pustaka Jaya, 1951), Empat Kumpulan Sajak (Pustaka Jaya, 1961), Blues Untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971). Rendra, Burung Merak dari Parangtritis meninggal pada 6 Agustus 2009. Bdk., Edy Haryono, “Biografi W. S. Rendra”, dalam W. S. Rendra, Stanza dan Blues (penyunt. Edy Haryono) (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2016), hlm. 90-120.
[4]W.S. Rendra, Tanza dan Blues (penyunt. Edy Haryono) (Yogyakarta: Bentang, 2016), hlm. 15.
[5]Aliran kesusastraan yang lebih mementingkan kejiwaan sehingga berbeda dari realisme dan naturalisme. Dalam ekspresionisme semuanya meletus melebur dari dalam jiwa pengarang akibatnya alam benda (dengan bentuk-bentuk kebendaannya) dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi-manifestasi kejiwaan. Bdk., Mochtar Lubis, Sastra dan Tekniknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 91.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJAHMU

Untukmu, Perempuan yang Berwajah “ Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih keadalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan ciuman-ciuman .” ~Edy Soge Ef Er~   Hello Puan, Tangan Tuhan telah membentukmu dengan keagungan dan kecantikan. Perempuan, siapa pun dia, hitam atau putih, cantik atau norak, mulus atau menor, ia tetap indah. Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis. Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala k...

MENDAMBA SAMBA

Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Costa, putri Samba kumendamba   Hewa, Juni 2016 Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Cos...

Via Dolorosa Tuhan dan Pandemi Covid-19

“Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga… tabir bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.”  (Mat27:45,51) Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota Tuhan. Banyak orang di sana. Berada dalam ketidaktentuan pilihan dan jawaban. Sebab imaji Golgota adalah ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Orang-orang menjadi takut dan Tuhan sungguh amat kesepian ditinggal Bapa. Namun iman menjadi terang benderang di hadapan tapal batas kehidupan. Meski ditinggal Bapa Tuhan masih tetap pasrah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Meski takut kepala pasukan tetap mengakui pribadi Ilahi Yesus, “Sungguh orang ini Anak Allah”. Penyamun tersalib menyadari imannya, “Yesus, ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Iman kita diuji di dalam penderi...