OKTOBER
(ketika panas harus bersaksi)
I
daun pucat pasi pohon jadi basi
mati tanpa kata hidup tanpa kuyup
terik melata datar duka jelata
suara tak laɡi riuh di sini kini
maka keruh, keluh kesah tubuh
oh oh Oktober duka semesta
lara baɡai semesta jelata
air keruh, panas besi membara
kaca jendela beninɡ letih
atap rumah beɡitu lusuh
hidup kami beɡitu lirih
tanah kering
ɪɪ
Oktober duka semesta
kami pintah kuasa Firdaus
kuasa rakyat tak ternɡianɡ
bersemayam di lembah hukum rimba
kami jelata melata tanpa kata
elit politik hampa nurani
setiap saku, uanɡ bersemayam
beraɡam dosa bertenɡɡer di orɡan
pentinɡnya
kau ambil kuasa rakyat denɡan tanɡan
kosonɡ
menɡunyanya tanpa pikir suara jelata
Oktober kau denɡunɡkan dalam kantuk tak
retak
panasnya kau siram pada semesta jelata
lantas kami harus buat hujan sendiri
terikǃ titik-titik air mata kami
ɪɪɪ
Oktoberː rapal doa jelata
“Tuhan sembuhkanlah demokrasi kami“
Oktober 2014
LELAP MALAM
dedaunan terlelap dalam malam
mengenal kelam melayang
jarum jam titipkan salam
malam selalu datang
menjadi ranjang bagi dahan kusam
mengekalkan pandang
senyap. Lelap malam
Hokeng, 2015
DRAMA
menulis
dari babak-babak bebatuan
suatu taman gurun
dengan
pena pesona
basahi
huruf-huruf berat
mengeja suasana:
“di
bibir kaktus itu, masih basah kembang-kembang gaib“
Hokeng, Januari 2015
ANTARA MUSIM DAN LALANG
Januari
ada duka rintik-rintik
syair
gerimis dan melodi musim
bercumbu
di atap asbes
sementara
akar lalang tunggal tertancap
”antara
musim dan lalang, ada rimbun kelaliman”
Hokeng, 2015
Penyair dan Secangkir Kopi
kali ini
senja memang nakal
singgah
tanpa permisi
biasanya
ada rasa sapa paling alamiah
menegur
di cela dedaunan Jambu
bercanda
di beranda
senja
lalu menyelinap masuk
masuk ke
dalam cangkir kopi
puisi pun tumpah:
“di
bibirmu telah mengering sajak cintaku“
penyair takjub tak henti
dan sunyi bergeliat
di antara penyair dan cangkir kopi
Hokeng, 2015
KEMATIAN
Tuhan, air
mataku
selalu berlibur
di dukamu
2015
SENYUM
doaku paling mulia
Hokeng, 2015
DI TUNGKU
di tungku
aku memangku luka
menghangatkan duka
menggigil sendiri
Hokeng 2015
DI BALIK BUKIT
Aku temui mentari senja
Menggigil di balik bukit
Aku tersesat?
2015
(..........?)
Aku
selalu menghafal kematianku
Sebab Tuhan ada di sana
2015
SAMPAH
sampah bertumpuk: sampah budi, sampah hati
air mata berserakan
air mata berserakan
berlinang di kelam mendung malam
hujan sampah banjir tubuh
tubuh bagai sampah
membusuk di pelataran istana
negaraku
Hokeng, 2015
LUKA
HP berdering kering
dan aku
semakin miskin
sibuk
mengobati luka
kabar
buruk tentang kau
dan lupa
bahwa aku punya luka
Hokeng, 2015
JENDELA
pada jendela yang paling jujur
aku lihat tanganmu tergandeng
pada jemari yang sulit terbayang
hatiku meleleh
Hokeng, 2015
MUNGKIN SULIT TAPI
PERLU DIPERBUAT
baringkan hening di katup tanganmu
dan denganya berenanglah
ke dalam tubuhmu
lalu rawatilah detak jantungmu
lilin belum padam
Hokeng, 2015
SELESMA
dadaku terasa berat hebat
bagai tertindih badai rintik November
jantungku berdegup kepanasan
lubang hidung kuyup oleh asin laut
membening temaram penuh lembab
selesma melemas mengelus rongga nafasku
ragaku semakin tak tentram
jiwaku bagai terdera
jauh dari cinta mama-bapa
maka aku terguncang kenangan
selesma adalah rindu yang penuh
rindu mama-bapa
Hokeng, 2015
Menjelang Pemilu
Aku mengalami jumpa
yang angkuh
Mungkin juga kau
Menjelang pemilu jadi
piluh
Dia di mimbar ingin jadi
pilihan
Berkata penuh pilihan kata
Gelora hiperbola:
„aku akan melegahkan
nafas-nafas kalian, mewujudkan keadilan sosial secepat kilat.“
Menjelang pemilu
Lidahnya kehilangan cermin
di dalam hatinya
Berkata bagai gugur
daun
September 2015
Indonesia di Ufuk Barat
(negeriku dalam
peradaban senja)
Mentari pertiwi menulis
redup
Setiap lelah yang tak
terobati
Serupa gagak menemui
senyap
Melagukan malam paling
sunyi
Kemarau parau keruh
meringkuk
Di sepanjang pandang
mata
Gigil di tepian bibir
Keluh kesah di pinggir
jalan
Kita tiba di lelap
senja
Timur hanya tiba
tiba-tiba
Lalu jadi cerita paling
ibah
Dan kita mesti kenal
diri
Tuan berdasi masih karip
Dengan kata-kata uang
Sutradara drama senayan
Lakon penuh aib
Indonesia di ufuk Barat
Menulis gugur Jaminum sambac
Ahh, di manakah tanah
terjanji
September 2015
SEPI
sepiku adalah sepi
gagak di dahan tertinggi
sendiri membagi duka sunyi
Hokeng, 3 Januari 2016
SUATU SENJA
halaman ini ramai cahaya lampu kota
dering-dering zaman dan kisah lamunan
anak-anak
berkejaran
memburu
kunang-kunang.
suatu
senja,
musim-musim
yang manis
merobohkan
gigi-giginya yang tandus
Januari
2016
SELEPAS LAMBAIAN TANGAN
aku membungkuk menatap mawar
yang luruh dari langit kenangan
dan
mengapa kau bingkiskan bagiku
semekar
sunyi yang tak pernah selesai mewangi?
Januari 2016
PUISI
senja sepi ini
jalan sepi ini
hujan sepi ini
rindu sepi ini
adalah titian menujumu
sebab bagiku kau adalah puisi
Januari 2016
SUNGGUH PERLU
DIDOAKAN
di atas meja sahaja
dengan lampu belajar yang letih bercahaya
aku masih menulis sajak tentang kau
Januari 2016
KEPADAMU
di musik mengusik
aku memilih berteduh
di atas ranjang
mengingat engkau jauh
dalam
iringan melodi
dan
gerimis sendiri
Januari 2016
Cerita Teman
:Untuk Frido Kolin
matamu terlalu indah untuk
menangisi cinta
tatkala huruf-huruf dari
bibirnya jatuh
dan membentuk cerita
ibunya
ia seperti diterkam
dingin
dari musim paling pedih
dan menikam kalbunya
matanya menangisi ibunda
gerimis itu merangkai
cerita tentang kasih sayang yang terlupakan
Januari 2016
KATA MATA
malam membenam putik lilin
gulita menyita purnama bibir
kelopak kaku bak dipilin
mata merintik bagai benih dicicir
seperti pencuri
malam tiba, tiba-tiba
membalut tubuh dengan lelap gelap
meremukan rusuk yang masih belia
hatiku sendu maut melahap
ranjang pilu aku tak pulih
mata mengatupkan cerita letih
mengguyurkan darah-darah hati
dari hidup piatu tak sehati
dagu setia menemani lutut
jemari lesuh mendekap kaki-kaki sengal
hidup dari nyanyian gagak
mendekap diriku di sudut kesal
akhirnya salib itu kupikul dengan gelora
dalam doa-doa penuh sesal
rintik mata memberi jejak pipi
melintasi nadi-nadi yang muram
sampai kata mata melecut:
“tangisilah dirimu dan anak-anakmu”
Hewa, 10 April 2016
MOMEN KUNCI
buat: G.P
Mutiara di tengah sawah
kilaunya sampai jauh
dikalungkan pada leher sunyi savana
cemerlang menerkam hati kita
momen kunci membuka pintu kata
aku bagai dicumbui kuat-kuat (kau?)
sampai berlabuh di ranum jiwa
rumah ciptamu cermat merayu
ceritamu adalah aksara suci
aku merenung lalu terbang tinggi
dan kudekap penuh ayat-ayat akhlak
maka engkau adalah mahaguru
mengajarkan aku arti perjumpaan tamasya semesta
momen kunci membuka pintu seni NTT
kami ramai-ramai masuk
berkat karya jemarimu semerbak
Guruku Domunis Vobiscum
Selesai
Hewa, 10 April
2016.
SAJAK
bak kepak elang mengudara
mata menangkup ombak menderu
laut seperti pelangi mewangi
senja menebar pesona
horison temaram
lambai air terjun terjal
memanggil riak dan kata hati
syahdu dan angin memetik dawai daun kering
jendela menoreh warna musim
titik air bibir atap jatuh
memagut tanah yang rendah hati
menerima luka membagi ria
uraian legam melati tetangga
kukagumi setiap jumpa
gagap melahap lidahku
gumam mengulum peluh ragu
hatiku dicumbui kembang sunyi
lalu malam tak kuselesaikan
kepadaku sunyi sodorkan sajak
aku benar-benar gila dibuatnya
gelora sajak menerpa bagai ombak pantai selatan
mataku sulit terkatup
aku menghijau
selesai
Hewa, 10 April
2016.
Altar Ungu
Lagu tobat bersenandung
sendu
Setiap perhentian
sembah sujud terwujud
Di luar gerimis
tercurah
Cat-cat tua dinding
kapel luruh
„Tuhan, jam ini
berdetak temaram, lekaslah bersama supaya kami tidak karam“
Sampai jeda mata pun layu
Mawar mekar lalu bercanda
„biarlah matamu menangisi
nuranimu dan jangan layu pada-Ku“
Jubah Tuhan diundi
Sudahkah kita berbagi?
Altar tampak ungu
Sudah kita bertobat?
April 2016
Taman Kebangkitan
tumbuh berbagai bunga
bathin
cinta kasih, iman, dan
pengorbanan
dicumbui air dari lambung
Mesias
diguyur darah dari
luka-luka tragis
Minggu pagi wangian
merebak
Roh Allah menggulingkan
batu kubur
Tampak warna-warni
mengusap mata
Para perempuan takjub,
kagum, dan pergi
Membagi putih cinta
kasih
Membagi kuning iman
Membagi merah
pengorbanan
***
Allah adalah penjaga
taman kebangkitan
Dari Golgota kita
menuju Eden
Allah mencintai kita
Allah percaya kita
***
Taman kebangkitan adalah
mekar seri Galilea
Ke Galilea kita kembali
ke awal
“berbahagialah yang
berdiri di awal sebab ia akan mengenal akhir dan ia tiadak akan mengalami
kematian”
April 2016
Kehilangan Ciuman
Ia lahir berbalut luka
Semarak tangis mengelus
duka
Nafas-nafas ibunda habis
di sebuah bak penciptaan
Hidup seoarang anak
kehilangan ciuman
Mama telah tiada
Bapa merantau menjadi
ranjau
Meledakkan rumah tangga
Mengahanguskan kasih
sayang
„ia menangis di pangkuan
rintik mata, dibelai dengan embun yang sangat berbeda“
Juni 2016
Eksotik
Karena debu tanah
Dikemas Allah
April 2016
Puisi Tuhan
Akulah jalan, berarti
salib, pikulah sampai jauh.
Akulah kebenaran, berarti
kematian, berdoalah sepanjang sunyi.
Akulah hidup, berarti
kebangkitan, berbuatlah kasih seringan cahaya
April 2016
Malam (1)
Aku terhanyut
Dalam......
Badai mimpi
Malam (2)
Burung hantu bermain kicau
Merdu......
Dalam rimba rambutku
Malam (3)
Tuhan, bermalam
Di malamku
Dalam dan merdu
Dekapan-Nya
Mei 2016
Masa Kecil
(1)
Aku anak desa gemar canda
Di kemarau yang angkuh
Aku telanjang dada
Menulis debu dalam kawan
Petualangan saudara di tanah lapang
Bola temali pisang, rajutan kakak tetangga
Telah kami lawan
„Bola,
debuh, dan tanah lapang adalah cangkir susu pertama masa kecil nan ria.“
(2)
Aku anak kampong, karib bersama kawan mengapung
Di tepian bias senja
Berbagi geli dekat perapian
Lompat
ria raih napas-napas api
Laku
perjuangan masa kecil
Senja
semakin senja
Ketika
hembusan nafas terakhir
Ia
berbisik:
“jangan biarkan malam datang dan meremukan tulang-tulangku”
(3)
Malam menghimpit bola mataku
Dengan dongeng ayah
Sedang ibu menegur rambutku dengan jemari doa
Mei 2016
Fatima Bukit Manuk
Bundaku Kudus,
Bukit Manuk menenun lenan
rumahmu
Sembahku mewujud sujud degup harap
Membagi keluh kesah mendesah
Aku dan jiwaku mengadu
Bundaku kupuja,
ziarah iman tumbuh dan mekar
Bukit Manuk-Getsemani Tandus
Beribu doa tumpah
Laut, karang, dan tebing terjal bernyanyi:
„Jiwa kami memuliakan Bunda Fatima“
Fatima Bukit Manuk
Aku nyalakan lilin berdoa
Selasa, 31 Mei 2016
Sunyi Tuhan
Tuhan, di sunyi-Mu aku
menjahit pahit
Puisi semesta tentang
sedikit sakit
Sepotong pamit
Pulang pada doa-Mu
Mei 2016
Doa Pagi
Tuhan di pagi nan dingin
Kurindu begitu ingin
Kita sedingin!
Kecaplah dinginku
Mei 2016
Mendamba Samba
: A.C
Bukan lelucuan tanpa
romansa
Saat santai kau dekatkan
sapa rasa
Membuncah ria menari
jemari menyentuh bahu
Kau poles jiwaku dengan
canda yang kutahu
Putri samba kumendamba
Rekah bibir yang jujur,
Tawamu membawaku ke laut
senyuman
kau pandai mengganggu riak
jiwaku
mengagumimu belum cukup
mendoakanmu belum tentu
sempurna
terpaksa aku mengerti
dirimu dengan kata hati.
Auciliana Costa, putri
Samba kumendamba
Hewa,
Juni 2016
LANGIT MATAMU
MENDUNG
aku tahu engkau ‘kan berpaling pulang
dan seperti kau tahu hatiku tak rela pintu
tertutup,
suatu subuh tanpa kuyup, embun pun layu
kau mengetuk kuping batinku, “Halo ade, langit
mataku mendung.”
isak rindu berderai di toilet Kapal Bukit Siguntan
kau menangis, biru itu memudar
derai ombak mengusik, jadi lagu nostalgia,
hatiku menggigil dan embun terbit di mataku
terpaksa kulekatkan erat bantal peluk ke
rusuk-rusukku
yang tak lengkap, melengkapi dirimu supaya hati
terjaga.
ingat, pagi tiba kau pun berteduh dalam doaku
selamanya....
***
“Kak, rintik matamu aku simpan buat bekal
bagi gersang hening hari-hariku.”
Suatu
Hari, 26 Juni 2016
Musim Yang Pernah Kubayangkan[1]
Angin berarak semarak
bagai salju turun
Mencumbui ranting,
daun, dan detak jantung
Halaman nan dingin
memadamkan pesona bibir
Buah-buah ranum pun
kedinginan
Di dalam kamar sunyi
sajak-sajak musim
dingin membeku
Aku membungkus erat
urat-urat sunyi
Memeluk huruf-huruf
sendiri
Ada yang selalu aku ingat
Kesepian Demeter yang
melekat
Pada ingatan tentang
cerita yang pernah kubaca
Hades ditemani
Proserpina
Maka air mata Keres
adalah musim dingin tiba
Menggigilkan nadiku
Juni 2016
Pesan Seorang Pelacur
Malam gemerlapan bertakhta
megah
Derita hidup menangkup
birahi
Kadang ia begitu bahagia
Bayaran yang menjanjikan
Cahaya temaram
mempercantik kenyal dada
Sering ia menjerit
genit
Harga diri bagai kue
coklat
Penetrasi tuan berdasi
berhasil
Ia lemas mengemas peluh
Sambil mengenakan celana
dalam hitam
Ia berpesan: Ketika darah
mencemari urat dan lidah mengingkari kata
Aku hanya ingin engkau
berdiri sendiri di atas huruf-huruf doamu
„Seorang pelacur adalah
pendoa yang gagal bagi dirinya sendiri“, politisi bergumam
Malam menjadi semakin
kelam
Juni 2016
TEPAT DI BIBIR ATAP
Cerita suatu pagi:
Tepat bibir atap embun menatap
Mengatup lalu tetes jatuh
Membasahi lahan kata nan rindang
Dingin dan gairah.
Cerita pagi berikutnya:
Aku berkunjung ke rumah sahabatku penyair
Di halaman rumahnya telah tumbuh sejuta sajak mekar puisi,
Adalah taman petuah.
Tepat di bibir atap
Kita membuat pilihan:
Mencoba bertahan untuk menimbun rasa takut
Atau pasrah jatuh dan mati
Untuk yang lebih berarti?
Tepat di bibir atap
Aku tak sanggup menatap
Kelopak mataku luruh bersama embun
Juni, 2016
Berdiri Diriku di Tepi Tebing
Waktu yang kicau layu
terkulai
Terasa usainya hampir
mulai
Kelopak mawar yang mekar
di kepalaku membeku
Jiwaku melolong sepoi
Tak ada tempat membasuh
keringat
Darah dalam urat mengerut
Di mataku daun gugur
berderai
Damai cerai
Ahh, memang harus kualami
Mendung telaga dalam kalbu
Hujan lebat melanda jiwa
Ohh...Rinduku nan Manis
Mulia
Sendiri diriku berdiri
Berdiri diriku di tepi
tebing
Juni 2016
RUMAH
Derai api tak terjangkau
Tungku pun luka
Pintu jendela merekam kelam
Tertutup tiada bertuan
Lumut-lumut imut mengecup
tembok
Daunan rambutan
bertaburan buram
Rumah merana sungguh
lumrah
Sendirian membesarkan
sunyi kelam
Terutama kucup-kucup
dendam
Mereka biarkan sunyi
menyayangiku
Merantau tanpa tahu
Bahwa hati perlu sapa
sunyi
Rumah sunyi merawat
sajak-sajakku
Di sana aku membeku
Juni 2016
Malam yang Tak Terselesaikan
Kasur empuk merangkul
tubuhku tercerai
Darah dalam urat hangat
membelai
Degup jantung menjadi
lebih cepat daripada jarum jam
Sampai pori-pori
berseri. Mengagumi malam di tengah hiruk pikuk perasaan penggemar sunyi
Dan tanganku teduh
tertempel di dahi
Yang banyak ditumbuhi
sajak yang menghijau bagai savana
Malam ini adalah kemarau
yang akrab dengan keringat ingatan
Sajakku yang belum selesai
Mengirimkan sejuta anak
panah
Dan menikam memori. Nyeri
itu membawa aku sampai ke laut lepas
Dan aku menjadi paling sendiri
Lalu mata sulit terkatup
Sajak itu hantu yang
menghantaui
Juni 2016
Malam yang Kupertanyakan
Kau gadis Kefa mengeja
kata cinta
Dari jumpa menangkup
kuatnya cinta
Kala tiba di biara kau
masih di perangkap relung merah kasih sayang
Kabari aku malam tiba
Kala aku pikirkan
titipanku padamu
„makasih ya, ini bagus
sekali“
Katamu yang bagiku adalah
entah
Malam di biara membiarkan
kau mengaku degup jiwa
„jujur frater aku
mencintaimu“
Aku tersenyum dalam tawa
yang samar-samar bangga
„mengapa kau mencintaiku
yang lebih mencintai panggilanmu?“
Tanyaku pada suatu malam
Dan malam itu
kupertanyakan sampai detik ini
Juni 2016
Bukit Manuk Suatu Malam
Bukit Manuk-getsemani
tandus-pesona doa
Menenun nyala lilin dan
alunan Rosario
Harapan tumpah dari
bibir manusia
Putra-putri mengadu
berdoa pada Bunda Fatima
Bukit Manuk suatu malam
Ayat-ayat suci meresapi
hati
Dawai gitar lantunkan
lagu Maria
Malam syhadu doa suci
Bukit Manuk suatu malam
Ombak pun ikut berdoa
dengan deburnya
Juni 2016
Tempus
Ia pernah ke Jepang
Sayangnya, hanya empat
puluh hari ia di sana
Mengenal filsafat waktu
pada seorang professor
Ketika kembali ke
Indonesia
Kepadanya diberikan sebuah
arloji
Ambillah ini dan milikilah
Supaya anda tidak
kehilangan makna hidup
***
Di kamar sempit sebab
sudut-sudut telah ditumbuhi sajak-sajak
Ia mulai bermain dengan
waktu
Jarum jam diputar ke depan
jauh
Ia sangsi dan bertanya:
apakah ini yang pernah kuimpikan?
Guru, imam, dosen, dan
penyair?
Detak-detak jam berbisik
„kau masih terlalu dingin
ingin. Kadang kau cemohi detik-detik yang lagunya kau nikmati. Kembali ke balik
dan renungkanlah sajak di punggungmu.“
Ia tapaki masa lalu dan
sekali lagi detak-detak jam berbisik sesal: “aku sering bermain di tepian
matamu dan menginap di bilik hatimu supaya kau rasa memiliki. Tapi kau lebih
mudah lupakan aku dan mencaci maki detik-detik yang kau alami.“
Ia pun sadar tegar berdiri
kini dan di sini
Detik-detik masa kini
menyapa
„seinci waktu sekaki
permata.“
***
Satu ketika ia diundang ke
Jepang untuk membacakan puisi
Setelah selesai acara
Ia bertemu profesor dan
berkata:“terima kasih guru, aku punya waktu yaitu detak jantungku sendiri.“
Keduanya berpisah sedang
waktu menghantui
Juni 2016
Puisi Pagi Hari
Daun melafalkan puisi
bening
„ada debur dingin di
gelembung embun“
Kupingku sungguh tak
kesepian
Juli 2016
Ada Pada Kita
Pandang curiga gapai tutur
zinah
Membelenggu kisah
kuncup taman
Membagi layu dan gugur
tak jauh
Sesama dipenjara dalam
kata ingat diri
Huruf-huruf jatuh bagai
titis darah
Adalah langkah kita,
langkah malam
Menyusuri lorong keji
ruang najis
Tubuh didandan wangi zaman
Ditoreh pena noda dosa
Terlena di lenan bertubah
Kita kehilangan mentari
jiwa
Ada pada kita adalah yang
seharusnya tiada
Agustus 2016
TUJUH BELAS AGUSTUS
(mengenang HUT
persada)
Lahir dari pandang
kabut waktu
Silam menyelam kelam
peluh titis darah
Angkat senjata
menyata benderang menang
Sampai gapai
proklamasi merdeka
Di bawah langit
terik
Anak-anak pertiwi
tegar berbaris
Gelora jiwa berderai
merdu dan nyaring
“Indonesi Raya”
kibarkan pusaka bangsa
Merah putih mendekap
semesta
Berkibar tegar
megah, sunyi dan air mata
Ada gagal di tengah
persatuan
Pipih masih basah
oleh gelisah, derita
Air mata berkata
kata gagal
Peluru memburu
membagi luka
Terorisme mengiris
iman dan agama
Tambang mengambang
kembang liang neraka
Tujuh belas agustus,
Mengutus purnama
Kupang
(Tofa), 17 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar