Langsung ke konten utama

PUISI III (LEDALERO)


CECILLIA

Gadis Timor berhati melati

Kuncup senyum mekar  tawa



Pagi hari embun berlabuh di kelopakmu

Mataku dingin dadaku terjaga



Engkau Cecillia, kembang di kebun Tuhan

Dari balik pagar kulihat tudungmu bergerai



Tudungmu, kelopak putih mahaindah

Jangan sampai dihempas bayu lelaki



Aku di bukit  ini begini:

Mendukungmu menjadi bunga Sang Guru

Ledalero, 19 Agustus 2018











DI KESUNYIAN ABAD INI

Di kesunyian abad ini

Aku belajar lebih tekun

Untuk berdamai dengan diri

Ledalero, 19 Agustus 2018











































LIRIK-LIRIK BAYU



Rambutmu yang tergerai

Bagai ilalang padang

Menyejukkan dadaku



Kekasih,

Rambutmu lirik-lirik bayu

Menggugurkan gairah

Menumbuhkan rasa kagum

Ledalero, 28 Agustus 2018







































DARI JAUH SEKALI



Dari jauh sekali

Kau lambaikan rindu

Embus bayu membawa datang

Fajar senja dan cuplikan mawar



Dari jauh sekali

Ciuman itu datang, dan

Mengapa selalu menggetarkan?



“Ciuman adalah gelora paling dalam dari kehidupan.”



Dari jauh sekali

Cinta itu datang

Dari jauh sekali

Semua ini ada

                                                Ledalero, 28 Agustus 2018































BULAN JAUH



Ada bait-bait rindu malam itu

Sendiri di luar rumah memandang bulan

Di bawah naungan dingin dan bayang-bayang cemara



Di luar rumah adalah kerinduan

Pintu terbuka melepas pergi

Lalu tertutup dan berulang kali diketuk rasa kangen



Rumah:

Bulan jauh yang purnamanya

Berpijar pada setiap sendiri

Ingin pulang, das Heimweh

Ledalero, 28 Agustus 2018





























KADANG RASA BERGELORA SEPERTI OMBAK



Kemarin, kicau burung datang dari senyummu

Tak kutahu siapa kamu

Tapi merdumu meneteskan embun musim kesepian

Ada yang sempat berbunga:

Mawar padang sunyi

Melati hati lelaki



Saling memandang adalah irama musik jiwa

Sejauh kita mengerti keindahannya

Ombak menghepas kita ke pantai

Lalu merasa dingin dan ingin bertepi lagi

Ke dada lelaki pelabuhan asmara

Ke dekapan perempuan rumah kasih sayang



Kau datang ke sampingku

Melabuhkan lelah dan desah dari pencarian

Laut tenang dan kau berbisik:

“Aku tak pandai berlayar sendiri dan tegakah

Engkau biarkan perahu tanpa nelayan?

Aku mau kita pulang sebab lonceng gereja memanggil.”



Aku tersenyum sambil menulis:

Kadang rasa bergelora seperti ombak

Kita bisa tenggelam atau berlayar

dengan segenap kemungkinan yang merisaukan

dan bisa saja berlabuh sebagai sepasang kekasih

                        Ledalero, 28 Agustus 2018





NARASI ALAM SEMESTA

(Mengenang gempa dan tsunami di Palu dan Donggala)



Pada carik-carik hidup ini

Alam menulis narasinya sendiri

Gaib dan teka-teki

Manusia tak mengerti

Tapi puisi ini aku tulis

Tatkala malam menyala beribu-ribu lilin

Di atas altar semesta, bumi ciptaan Tuhan

Agar dukacitaku menjadi penuh



Di bawah langit suci

Anak-anak  Palu Donggala memandang puing-puing

Kain kafan yang memeluk ayah, bunda, dan famili

Mereka adalah buih-buih terhempas



Dalam tangis haru biru

Mereka dendangkan adzan dan melodi lonceng gereja

Berdoa dengan air mata yang berbicara dalam derai

Mangalir duka menggenang lara



Padang gurun Kadesh gemetar

Pohon aras Libanon terhempas

Palu Donggala terlantar piatu

Tuhan gunung batu bersemayam di atas air bah



Daulat alam Tuhan membangun dunia baru

Sebelum Yesus bangkit gempa bumi terjadi

Maka Tuhan melukis langit bumi baru

Di tanah Palu Donggala

Ledalero, 26 Oktober 2018













MISTIKHA (1)

Embun musim semi yang gugur

Dari cakrawala asmara

Membasahi galeri sunyi

Dadaku gemetar



MISTIKHA (2)

Pijar-pijar fajar yang menerangi

Titian menuju pelangi

Aku masih kagum kamu

Jinggaku di lazuardi sunyi



MISTIKHA (3)

Purnama malam-malam panjang

Binarnya menghiasi tidur sepiku

Yang berbunga rindu

Kangen senyummu sepenggal cahaya



MISTICKA (4)

Waebuan Sikka yang murah senyum

Wajahmu gambar keindahan

Matamu telaga teduh

Ingin kuberlabuh di sana, bolehkah

                                                Ledalero, 26 Oktober 2018



















PESAN DARI BRASIL

Suatu malam menjelang hari ulang tahunku

Aku kibarkan dingin kesendirian di beranda

Angin yang manis membelai bunga-bunga

Ada yang menetes: sisa-sisa kenangan

Berupa daun kering dan sisa untaian gerimis

Dan batinku terjaga:

Kelak ke tanah aku kembali



Layar waktu diganti

Aku hanya tersenyum dalam sepi

Tiba-tiba pesanmu datang:

Chase your star fool, life is short

Engkau titip juga galeri wajahmu

Rupa senyum bagai purnama



Di beranda tempat engkau pernah menangis

Aku duduk memandang malam sambil bercermin

Pada butir-butir air matamu

Yang membuat aku kedinginan selagi berjarak

Brasil-Indonesia kita saling menunggu

Kelak kau atau aku yang datang

Membawa cincin buat jari manis



Jam dinding sudah letih bergurau

Ayam nyanyikan lagu terjaga

Aku pun letih menunggu dan sekali lagi

Engkau menulis pesan:

aku datang ke rumahmu November ini

Aku ingin sekamar denganmu

Sebab jarak yang melahirkan rindu ini membunuhku

                                                                        Dini Hari, 27 Oktober 2018 





































DINGIN

Di kamar mandi

Air mengajakku bercanda

„Kawan, mari kita saling berkaca,“  katanya

Sambil melambaikan riak-riaknya yang kacau



Apakah aku harus telanjang?



Telanjang adalah bahasa kenosis!

Tapi aku malu pada kemaluanku



Malumu itu dosa



Sesudah tanya jawab di subuh waktu

Dengan berani aku arahkan wajahku ke genangan air

Aku lihat tubuhku sendiri

Tubuh dusta tubuh dosa tubuh fana



Air memelukku dengan kekuatan pelukan mahadalam

Sampai ke pedalaman tubuh

Aku dingin dan hilang segala ingin

Aku bersih aku lestari

Dingin: getaran hati nurani

Ketika engkau telanjang di hadapan air hidup

                                    Ledalero, 8 November 2018



PENGAKUAN

Di ruang pengakuan

Seorang pendosa bertanya kepada pastor (pendosa)

Di mana dosa banyak terjadi?

Pastor yang bibirnya sering diwarnai ginju

Dengan senyum kecil-kecil menjawab

Di atas tempat tidur

Saya pastor (pendosa) juga tidak tidur sendiri



Si peniten gelisah

Ya bapa, berkatilah aku ( eee kami) orang berdosa ini

Sang pastor optimis

Atas nama gereja saya mengampuni dosamu (eee dosa kita)

Kemudian ia berpesan:

Kembalilah dan berdoalah untuk aku

Pastormu yang tidak beristri

Tapi ingin sekali punya istri

                                                Ledalero, 10 November 2018













HUJAN

Bumi memiliki kesepian

Ketika terik mewarnai bukit-bukit tandus

Ketika rerumputan menguning lalu kering



Dan ranting-ranting melambai menyapa embun

Membunga lumut-lumut musim

Pada waktunya lapuk dan tanah memanggil air



Air di bumi rindu air di langit

Kisah cinta semesta alam

Laut bergelora cakrawala menggelegar



Apakah langit selalu tentram

Dengan purnama dan bintang kejora

Sedang duka bumi berlanjut, tsunami,tsunami



Tiada yang tahu cinta antara langit dan bumi

Rahasia gerimis adalah jembatan rindu

Yang memulihkan air mata kemarau bumi



Hujan adalah cara langit mengecup bumi

Hujan adalah sperma yang membuahi tanah

Tumbuh segala di sini



Hujan adalah cerita musim paling berkesan

Dari balik jendela manusia menyaksikan senggama

Terasa teduh ingin mandi hujan, ingin bercinta

                                                            Ledalero, 1 Januari 2019 











































TAHUN BARU

                        : 1 Januari 2019        



Di halaman gereja berkerumun muda-mudi

Saling mengait tangan menempel pipi

Bahagia dengan kenangan bahagia dengan janji



Sejenak hening untuk terjaga pada batin sendiri

“Jadilah seperti semula, jadilah telanjang!”

Getar nurani deburan jiwa muda



“Kak, tahun berganti, tapi tiada aku ganti hati.“

Gadis manja berbisik pada kekasihnya

„Dik, waktu mengalir, entah...“



Wow..., malam asmara waktu

Terompet berbunyi, kembang cahaya berpijar di udara

Api-api pelangi menerawang, malam bahagia



Di pojok kesendirian aku peluk embun di daunan akasia

„Jadilah dingin yang jujur, jadilah bening yang suci.”

Pesan dari kenangan, harapan dari rindu, janji dari setia

                                                Ledalero, 1 Januari 2019

























CUKUP DI SINI



Entah benci rupa apa

Kau gurat namaku pada dinding terbuka

Kau lempar bajuku lewat jendela



Cukup di sini kawan

Ukuranmu adalah ukuranmu

Bukan waktunya kau hibur aku dengan leluconmu



Kau sendirian tertawa, dan

Hatiku tertawan

Sebab senyum dan tawamu adalah pisau bagi mataku dan telingaku



Aku kadang lupa kalau bibirmu

Suka menghibur dengan kulum kacau

Senyum sinis menghunus tajam



Aku kadang lupa kalau tawamu

Terlalu renyah untuk menertawakan

Lukaku, dukaku, salahku



Cukup di sini kawan

Antara kau dan aku

Bukan cerita mereka



Tidak baik menebar jala

Pada laut yang bukan milikmu

Tenanglah di rumah ini, membasuh diri

Mengenakan baju celana baru

Menikmati kopi dan tertawa sampai terbenam



Cukup di sini, antara kau dan aku

Tak boleh kau bawa aroma mawar pengantin

Kepada tetangga walau sahabat sekalipun

                                                Ledalero, 2 Januari 2019







DI RUMAHMU

                        : N. M



Burung camar melintas jauh batas cakrawala

Terbang bebas tiada lupa rumah

Senja jingga ia pulang ke sarang



Adakah hidup kita bagai camar

Selalu rindu pulang

Mekarkan sayap memeluk hangat



Suatu siang yang terang

Dari kejujuran yang cerah

Aku bertanya, di mana rumahku?



Tak sanggup aku menerjang deru laut

Mungkinkah menipu diri jika rasa ini ada

Ingin aku jujur saja



Di rumahmu

Cerita dituai dari cangkir kopi

Adalah sukacita mawar merah



Adalah hangat cinta seorang ibu

Dan senyum tawa anak-anak

Yang menggetarkan jejak kaki



Ingin aku ke rumah

Ke hatimu

Menabur rindu



Dik,

Di rumahmu

Aku labuhkan bahtera cinta

Cerita sepasang merpati

                                    Ledalero, 2 Januari 2019









KEGELAPAN



Kegelapan adalah kebebasan tanpa akal budi

Konflik tiada solusi



Kegelapan adalah kemanisan

Ziarah asmara



Masih remaja usiamu

Bagai bintang



Dikagumi banyak mata



Sekali waktu malam hari

Gelap gulita



Engkau dipeluk kekasih

Dipeluk dengan penuh kebebasan

Tak saling melihat tak saling memahami

                                                            Ledalero, 3 Januari 2019









































CEMBURU



Di dalam diri kita

Berkeriapan  rumput kering

rantik-ranting kering

kayu-kayu kering

yang sekali waktu terbakar



Demikian cemburu

Kebakaran di musim kering

Ketika manusia merasa diri tak berharga

                                                            Ledalero, 4 Januari 2019

























































CANGKIR ASMARA



Malam minggu

Saling bertemu untuk mengeja kenangan

Dan merapal cium sekedar momoles bibir

Dengan ritmik gerimis agar bergetar alir darah



Ciuman di malam yang manis

Adalah cangkir asmara

Yang tak pernah kering.



Haus akan cinta adalah kekal.

                                                Ledalero, 5 Januari 2019  

























































MALAM ITU KAU MENUTUP PINTU



Malam itu kau menutup pintu kamar

Tidur sendiri dan aku terlempar dari

Rasa saling  percaya dan pengertian.



Tempat tidur yang selalu mendamaikan

Sepasang manusia yang saling mencintai

Kau ciderai dengan salah paham. Terpaksa

Matamu bergetar aku terpukul.



Di meja tamu aku letakkan secarik pesan:

Jaga anak-anak karena merekalah bahagiamu.

Aku pergi ke rumah yang bukan rumah kita.

Belajar mencintai yang sulit dicintai



Sudah jauh dan kau menangisi

Diri membiarkan pintu terbuka siang malam

Aku hanya fajar angin yang mengibas kain jendela

Kau disejukkan lalu tertidur tanpa seorang suami



Malam itu kau menutup pintu

Mengunci kejujuran sendiri

Dan aku tak sanggup tinggal

Di dalam kebohongan yang dibuat-buat

                                                Ledalero, 6 Januari 2019





























PERIHAL UANG



Perihal uang siapa yang tidak kecanduan



Uang adalah pesawat tanpa sayap yang sanggup membawa engkau pergi

ke mana-mana engkau suka. Dan penerbangan ini engkau rasakan sebagai fly yang mutlak. Ke dalam neraka juga engkau anggap baik-baik saja.



Perihal uang siapa yang sanggup menolak



Uang adalah raja tanpa makhota yang pada waktu tertentu menjadi diktator

dan lalim yang lalu memimpin engkau ke medan perang tanpa kemenangan.

Kalah dan gagal adalah nikmat yang mengikat. Banyak orang tunduk

dan hanyut oleh hasut, oleh suap, oleh usap-usap milioner.



Meski demikian, uang tak sanggup membayar sebuah puisi.

                                                                                                            Ledalero, 7 Januari 2019













































DIAM TANPA ALASAN



Sudah tiga hari engkau tidak membalas

Pesan dan panggilanku. Engkau diam tanpa alasan.

Barangkali lupa kalau lidah adalah ibu dari setiap bahasa manusia.

Maka diam adalah kematian terbesar bangsa manusia.



Bicaralah melati hatiku,

selagi kupingku belum memerah

selagi pecahan rindu masih tentangmu. Jika esok

tiada lagi gurau getar dan dering, ikhlaskan kepergian

yang tidak menyakitkan hatimu dan hatiku. Delete saja nomor- nomor itu.

Diammu itu rintik-rintik hujan yang menghapus debu pada daun lalu

Dari balik jendela kita tersenyum dengan seekor pipit yang kedinginan.

Aku sama sekali tidak menyesal, tiada kehilangan jika masih

Hidup puisi-puisi dan aku bahagia, walau engkau berani membenci.



Sudah tiga hari engkau tidak membalas

Pesan dan panggilanku. Engkau diam tanpa alasan.



Diam tidak selalu menjadi jawaban. Bisa jadi

Sebuah pilihan untuk berdamai. Namun

bisa saja menjadi rumah bagi kebohongan.

Aku curiga bahwa engkau belum jujur

Dan merasa diri paling benar.



Apakah mungkin aku menyukai bunga tanpa kelopak

Berlabuh tanpa dermaga, mencintai tanpa bahasa?



Engkau diam tanpa alasan. Dan aku punya alasan

Untuk tidak diam. Aku ingin bilang, good bye....

                                                                        Ledalero, 8 Januari 2019

                                                                       















PERNAKAH



Pernakah cemara menggugurkan air mata

Ketika ranting berdaun patah lemas?



Pernakah kamboja berduka

Ketika pemakaman diiringi doa dan air mata?



Pernakah langit rindu datang ke bumi?



Pernakah engkau jujur melukai dan ikhlas mengobati?



Pernakah kita ajak Tuhan dalam peperangan?



Pernakah...........

                                                                        Ledalero, 9 Januari 2019

















































MENUNGGU DI TERMINAL RASA RINDU



Mengapa engkau masih mengetuk pintu ini

Sedang aku tidak menguncinya?



Aku lelaki di terminal rasa rindu

Menunggu



Sudah lama saling kenal

Dan petang hari-hari libur

Kita lewati dengan satu cangkir kopi

Satu cangkir.....



Maka buka pintu tanpa mengetuk,

mencinta melampaui sopan santun

adalah eros paling manis dalam asmara

                                                            Ledalero, 10 Januari 2019















































HANYA PANDANG HANYA KAGUM



Pada lereng-lereng curam dan dinding-dinding

Tebing yang tajam kembang manis Asia

Melambaikan gairah keindahan merah jingga

Yang daun-daunnya direciki cipak air terjun

Dan kelopaknya bergetaran panorama alam cinta



Bagai bulan jauh di langit yang tak sampai dijangkau jemari

Aku hanya memandang aku hanya kagum



Jalan ini meniti padang ilalang gunung bukit jauh

Lewat pula tamasya gurun pasir yang kesepiannya

Lebih pedih daripada kehilangan

Sungguh aku seorang diri berkawan burung gagak

Yang kebebasannya melampaui kemerdekaanku



Dari kejauhan aku lihat gemerlap kota



Masih sendiri di bukit ini

Hidup terpisah dari keluarga

Meninggalkan asmara



Maka aku petualang yang dahaganya dipuaskan puisi

Hanya pandang hanya kagum

Tak sempat kupetik bunga genggam jemari

Hidupmu hidupku terlampau berbeda

                                                            Ledalero, 11 Januari 2019

























JALAN HIDUP



Sudah ke hilir

Sudah lambai

Jauh arung laut

Lepas lintas udara



Dan suatu hari gelisah

Duduk renung

Di pesisir laut

Ingin mudik



Tapi cita-cita

Bukan dukacita

Bertahan pada pasang-surut

Supaya nanti berlabuh dan nyalakan mercusuar

                                                            Ledalero, 12 Januari 2019















































PESAN



Ingatanku dan ingatanmu

Dipenuhi oleh pesan-pesan

Sebab tiada pesan tanpa ingatan

Tiada pula ingatan tanpa pesan



 Jarak antara kau dan aku

Adalah rumah paling baik

Dari  ingatan untuk sebuah pesan

Cinta



Sayang,

Jangan lupa sediakan satu ruang

Di kepalamu untuk Tuhanmu

Yang selalu punya pesan yang sama: cinta



Aku ingin jika engkau cinta aku

Atas nama Tuhanmu

                                                Ledalero,  13 Januari 2019









































MEMORI



14 Januari rinai gerimis

Menghiasi daun-daun



14 Januari jemari rindu

Memetik dawai kenangan



Nyanyian hujan

Tarian ombak

Adalah bahasa jatuh cinta



Selalu gemuruh

Selalu menggetarkan



14 Januari, memori

Kita jatuh cinta

                        Ledalero, 14 Januari 2019













































TIBA-TIBA SAJA AKU INGAT KAMU



Tiba-tiba saja aku ingat kamu

Saat pagi yang kudus menghadirkan kebaikanmu.



Aku tahu engkau pantas diingat

Sebab kita punya cita-cita yang sama:

Saling mencintai....

                                                Ledalero, 15 Januari 2019































































PERPISAHAN



Perpisahan adalah cinta

Yang berhasil tinggal dan pergi



Keduanya sama-sama menyakitkan

Sama menyembuhkan



Demikian mencintai

Memeluk dan merelakan pergi

                                                Ledalero, 16 Januari 2019



























































BISIK-BISIK GERIMIS



Bisik-bisik gerimis rinai nostalgia

Mencumbui daun padang rumput



Aku dingin di beranda

Bercerita dengan cangkir kopi

Sambil dengar syair-syair musim



Bisik-bisik gerimis



Aku ingat tubuhmu  yang basah dan dingin

                                                Ledalero, 28 Januari 2019

























































SENDIRI (I)



Kabut di bumiku

Sayap-sayap salju di rindumu



SENDIRI (II)



Menakar janji

Dari biang segala rindu

                                    Ledalero, Januari 2019





























































DI MATAMU



Suatu hari duka

Di hadapan pusara rahimmu



Kusaksikan sebait pahit di matamu

Untaian cahaya lilin air mata

Yang nyalanya seperti rintik hujan



Di matamu

Laut langit menyatu

Kemarau hujan berbagi

Suka duka

Hidup mati

Kedap-kedip

Kehidupan

                                                Ledalero, 4 Maret 2019













































KATA SI SAKIT



Cukup sudah tutur bertubi

Sudahkan  kata dari bicara

Sebab lidah tak bertulang

Tak cukup kuat menopang rasa sakit



Jika masih sayang betul

Cintailah aku dengan tangan dan kakimu

Peluk aku lalu bawa pulang

                                                            Ledalero, 5 Maret 2019































































THENYA

                        T.N.



Waebuan Sikka,

Merpati dari hutan rindu

Dengan kepak salju yang mengibas

Dingin di wajah sepi



Masih gemetar dada ini

Sudikah engkau datang

Membawa kabar tentang hangat puisi

Sebab aku tak sanggup menulis sendiri



Thenya, mawar jingga bukit sandar matahari

Merpati dari hutan rindu

Aku berhutang puisi padamu

                                    Ledalero, 7 Maret 2019











































PUISI



Archer fish

Menembak hatiku

Jatuh dan tenggelam

                                    Ledalero, 12 Maret 2019





































































JANJI



Engkau rentangkan busur

Memanah dadaku

Luka dan darah

                        Ledalero, 21 Maret 2019





































































METANOIA



Kembali pulang

Ke rumah Bapa

                        Ledalero, 21 Maret 2019









































































GADIS KHATULISTIWA



Pontianak hari itu

Maret atau September

Sudah sebuah kenangan



Engkau peluk aku

Di bawah pijar equinox



Siang itu,

Aku tergelincir di bibirmu

Yang basah minyak zaitun



Tiada bayang-bayang

Garis lintang garis bujur merangkul bumi kita

Anak panah pun menembus jantungku jantungmu



Hidupku hidupmu sedang di antara

Antara penguin antartika dan beruang arktik

Kita masih bersama-sama, masih di evenaar



Engkau bisikkan aneka cuaca

Juga masa silam 1928

Dan engkau ingin aku tetap di khatulistiwa



Hidup adalah ada bersama

Ada bersama di antara



Gadis khatulistiwa,

Merpati bertudung putih yang tersesat di hutan Kalimantan

Masih utuhkah cincin di jari manismu?

                                                            Ledalero, 9 April 2019















MASA MUDA



Di cakrawala pagi yang damai

Aku bermain layang-layang

Walau angin belum berkibar



Tanpa tali

Aku bertualangan

Masih muda bagai burung-burung

                                           Ledalero, 14 April 2019





























































                                           MALAM SEBUAH PUISI



                                           Untuk T.N.

                                           Inang,

                                           Memilih baris depan adalah pilihan seorang pemenang

                                           Malam itu kita di baris depan menonton lakon

                                           Engkau pintar membagi ruang bagi yang lain

                                           Aku di sampingmu dengan sebuah kemungkinan

                                           Apakah bisa memenangkan hatimu?



                                           Inang,

                                           Aku datang, aku di sampingmu

                                           Aku suka caramu duduk sambil silang kaki

                                           Sandalmu mungil manis serupa perahu kertas

                                           Membawa jejak puisi ke dalam ingatan tentangmu



                                           Inang,

                                           Masih aku hafal galeri tingkahmu

                                           Merapikan rambut, mengucapkan maaf

                                           Gerak-gerak kecil yang menyibakkan sepoi

                                           Pada hati yang sedang memilih: jalan Tuhan atau jalan asmara



                                           Inang,

                                           Malam itu kita di baris depan

                                           Aku di sampingmu engkau di sampingku

                                           Mungkinkah kita saling mendampingi?

                                           Mungkinkah kita disatukan puisi?



                                           Inang,

                                           Malam sebuah puisi telah tiba

                                           Tapi baru bait pertama

                                           Semoga bait terakhir puisiku masih tentangmu

                                           Gadis manis berhati puisi

                                                                                    Ledalero, 16 April 2019





                                          







SIA-SIA



Gagak hitam bertengger

Dalam kepalaku



Hari-hari libur

Serupa daun gugur



Sia-sia

Menggaris nasib di pantai



Aku tak suka liburan

Aku tak mau pesisir



Aku ingin gelombang dan badai

Agar hidup tidak sia-sia

Kelak mati pun arti perjuangan

                                           Ledalero, 17 April 2019













































PERMINTAAN HIDUP



Sederhana saja merawat jantungmu

Dengan tidur pada waktunya

                                           Ledalero, 17 April 2019


























































































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJAHMU

Untukmu, Perempuan yang Berwajah “ Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih keadalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan ciuman-ciuman .” ~Edy Soge Ef Er~   Hello Puan, Tangan Tuhan telah membentukmu dengan keagungan dan kecantikan. Perempuan, siapa pun dia, hitam atau putih, cantik atau norak, mulus atau menor, ia tetap indah. Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis. Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala k...

MENDAMBA SAMBA

Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Costa, putri Samba kumendamba   Hewa, Juni 2016 Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Cos...

Via Dolorosa Tuhan dan Pandemi Covid-19

“Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga… tabir bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.”  (Mat27:45,51) Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota Tuhan. Banyak orang di sana. Berada dalam ketidaktentuan pilihan dan jawaban. Sebab imaji Golgota adalah ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Orang-orang menjadi takut dan Tuhan sungguh amat kesepian ditinggal Bapa. Namun iman menjadi terang benderang di hadapan tapal batas kehidupan. Meski ditinggal Bapa Tuhan masih tetap pasrah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Meski takut kepala pasukan tetap mengakui pribadi Ilahi Yesus, “Sungguh orang ini Anak Allah”. Penyamun tersalib menyadari imannya, “Yesus, ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Iman kita diuji di dalam penderi...