:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2780522/original/014192800_1555415011-LUKISAN_GEREJA_KATEDRAL_NOTRE_DAME.jpg)
Ayahku
Pastor, Ibuku Suster
Hari ini atau besok atau lusa. Atau menunggu 10 tahun
lagi. Saya harus bicara. Entah kenapa, ayah saya seorang pastor dan ibu saya
seorang suster.
Hampir
puluhan tahun kami tak bertemu. Saya sama sekali tidak tahu rupa orangtua saya.
Saya anak yang terlampau kesepian. Terlantar di luar rumah. Terberkati di depan
altar.
Saya
anak yatim piatu? Saya bertanya dalam hati saat duduk sendiri di tepi dermaga.
Memandang lepas pantai. Di kejauhan perahu diayunkan ombak yang damai. Laut
teduh. Saya ambil secarik kertas lalu menulis puisi ini.
Aku Di Mana?
Aku
memungut angin
Di daun
kering
Tiada
menemukan apa
Tak pula
jumpa siapa
Aku di
mana?
Malam hari
diterbangkan badai
Pagi hari
di tepi dermaga
Kapal telah
jauh
Aku di
mana?
(I Januari
2020)
Sesudah
menulis saya tiba-tiba merindukan mereka. Andaikan ayah di sini pasti ia
bercerita tentang laut. Ayah saya dari keluarga nelayan. Ia hidup dari laut dan
mungkin juga mati di laut. Ibu akan membelai kepalaku sambil curhat tentang
masa lalu ketika keluarga tak merestui cinta mereka. Saya menerawang. Menggapai
awan. Menemukan diri sebagai anak manusia yang kesepian. Jauh dari jangkauan
tangan kasih dunia. Saya ditinggalkan begitu saja di rumah orang tua ibu saya.
Di bawah asuhan mereka saya bertumbuh sebagai anak yang memiliki kesepiannnya
sendiri. Namun kemudian saya menemukan rumah di gereja dan di biara.
Saya
akui dengan susah payah oma dan opa mengasuh dan membimbing saya. Bahkan mereka
bersedia menyekolahkan saya. Kebetulan kakek seorang pensiunan guru jadi bisa
membiayai saya sekolah sampai di SMA. Saya ingat waktu kelas enam SD. Guru
agama bercerita tentang pastor dan suster. Katanya pastor tidak menikah. Begitu
juga suster. Mereka hidup untuk melayani Tuhan dan demi Kerajaan Allah mereka
menyerahkan diri secara total untuk Tuhan.
Waktu
itu saya mulai membayangkan kalau pastor dan suster memiliki kesepiannya
sendiri. Seperti saya hidup tanpa orang tua, mereka juga hidup tanpa pendamping
hidup. Kami sama-sama di jalan nasib yang ganjil dan pelik. Lahir dari rahim
seorang ibu tapi dibilang anak haram. Pastor dan suster memiliki erotika tapi
tidak menikah. Tidak kawin? Pastor tidak punya istri. Suster tak punya suami.
Kami sama-sama orang tak punya.
Nasib
ini saya pikul pada setiap jejak langkah. Di sekolah saya dihina karena tidak
memiliki ayah dan ibu yang jelas. Teman-teman menjauh. Bahkan ada guru yang
bersikap sinis terhadap saya. Ternyata dunia memiliki sinisme yang kuat. Ada
pula eufemisme dan peyorasi.
“Salam
buat bapamu, “ kata guru wali.”Dia seorang pekerja keras.”
“Kamu
pasti punya keluarga yang baik,” seorang teman berbicara.
“Dasar
anak yatim!” yang lain mengejek.
Saya
tak tahu siapa ayah saya. Kenapa dia titipkan salam. Bagaimana saya harus
menyampaikannya. Ayah saya juga bukan seorang pekerja keras. Ia mungkin
penganggur yang terlanjur adiktif pada alkohol dan rokok. Ibu saya mungkin
hamil waktu masih di bangku sekolah. Tentu keluarga saya bukan keluarga yang
harmonis. Ya, saya seorang anak yatim. Kamu masih mengejeknya. Betapa batin
saya disayat-sayat oleh lidah sesama yang kadang menjadi belati melukai lubuk
hati. Namun saya tetap di jalan puisi. Memilih tempat sepi di sudut sekolah.
Membaca puisi seorang diri. Chairil Anwar meneguhkan,
Biar
peluru menembus kulitku.
Aku
tetap meradang menerjang…
Luka
dan bisa kubawa berlari
Berlari…
Hingga
hilang pedih peri,,,
Dan
aku akan lebih tidak perduli
Aku
mau hidup seribu tahun lagi…
Kata-kata
puisi adalah hati yang bicara. Hati saya disentuh secara mendalam oleh bahasa hati
penyair. Membaca puisi berarti membiarkan hati disentuh, dibasuh, dibersihkan
menjadi hati yang terbuka bagi hidup. Noda kemelut jiwa saya bisa dihapus
dengan puisi. Puisi memberi pelajaran berharga tentang citra rasa kemanusian
dan imajinasi kreatif. Puisi memiliki teritori interior, lubuk hati. Biar mata
saya bicara dalam rintik tangis, hati saya tetap tegar pada setiap baris puisi.
Saya tidak pernah lupa. Pada leleh pertama setiap lilin yang saya bakar selalu
saya nyalakan juga bisik hatiku, “Tuhan berikanlah aku rezeki puisi pada sunyi
hari-hariku, agar tidak lapar dan sendiri.”
Kesendirian
di sudut sekolah ditemani buku-buku puisi memberikan saya bekal rohani untuk
memantapkan suasana hati. Namun saya tetap butuh bekal material, kasih dan
perhatian dari orangtua. Ini mutlak. Saya terpaksa menemukan kehadiran mereka
dalam pribadi oma dan opa. Apalagi di rumah saya hanya bersama mereka berdua. Saya
memeluk mereka merasakan hangatnya kasih sayang. Namun tetap ada yang tidak
lengkap. Hati seorang anak tetap membutuhkan hati orangtuanya.
Saya
melewati hari hidup dalam pencarian akan rumah di mana saya menemukan orangtua
saya. Setiap kali saya bertanya oma dan opa di mana bapa dan mama, mereka hanya
menjawab mereka merantau ketika engkau masih sangat fajar, usia 2 tahun. Terus
saya tanyakan, tetapi keduanya seolah menyembunyikan kebenaran tentang ayah ibu
saya. Ternyata orang tua yang saya anggap arif masih tetap berbohong. Malu
membuka aib keluarga sendiri. Hidup pada mulanya dibayang-bayangi oleh oleh rasa
takut, curiga, malu, dan merasa diri paling baik. Saya memang tak punya rumah.
Hari
Minggu. Senja berkabut mampir di bubungan atap katedral. Lonceng gereja
berbunyi. Begitu sendu. Suara dari melodrama agama. Saya bingung. Hari-hari di
masa silam gereja ini begitu damai. Bahkan ia menjadi rumah bagi semua. Kini ia
menjadi panggung tragedi. Saya memberanikan diri masuk. Membuat tanda salib. Tepat
di pintu itu saya rasakan udara yang pengap, bau alkohol, juga aroma-aroma
tubuh perempuan yang terlantar karena dijarah oleh nafsu. Saya juga melihat
uang-uang berhamburan di lantai. Tak ada lilin di altar. Kacau. Tiba-tiba saya
ingat bagian terakhir dari puisi Khotbah
W. S. Rendra.
Cha-cha-cha.
Mereka
maju menggasak mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka
seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka
robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang
perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang
perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan
gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah
perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu
tubuhnya dicincang.
Semua
orang makan dagingnya. Cha-cha-cha.
Dengan
persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka
minum darahnya.
Mereka
hisap sungsum tulangnya.
Sempurna
habis ia dimakan.
Tak
ada lagi yang sisa.
Fantastis.
Saya sadar
bahwa komunio adalah kolektivitas buas segerombolan serigala. Umat beriman membangun
kekuatan destruktif membunuh pelayannya sendiri. Namun dalam pemikiran Nietzsche
komunio itu merupakan suatu perbondongan (Herde)
yang lemah karena diperbudak oleh moral universal. Bisa jadi kata fantastis dari Rendra menegaskan suatu antitesis
bahwa kelompok manusia yang dipimpin juga memiliki kehendak untuk berkuasa (Will zur Macht) dan sanggup mengalahkan
pemimpinnya.
Saya berada
di dalam ruang dan waktu penuh kontradiksi. Rumah Tuhan dijadikan gudang dosa. Waktu
berdoa menjadi waktu untuk menyebarkan kebohongan dan amarah. Saya berjuang
beberapa langkah untuk bisa menempati bangku paling belakang. Memandang ke
depan altar. Begitu lengang. Tak ada apa-apa lagi. Saya duduk merenung. Lalu saya
sampai pada suatu kenangan. Di tempat ini saya pernah didampingi oleh seorang
pastor dan suster. Saya ingat sabda mereka. Anak, jadilah dirimu sendiri. Mereka
mendampingi saya bertahun-tahun selama masa studi. Bahkan mereka mengongkos
sekolah saya di pergurun tinggi. Mereka telah menjadi orangtua saya. Dari mereka
saya menemukan rumah di gereja dan di biara. Dekat mereka saya merasa tidak
asing karena saya sudah mendengar tentang mereka saat masih di kelas 6 SD.
Malam telah
turun. Saya meninggalkan gereja katedral. Saya tak punya rumah lagi. Saya terus
ke dermaga. Di tengah jalan saya membuka Hp. Ada dua pesan.
“Anak,
selamat ulang tahun,” pesan dari ayah. “Saya mendoakanmu di altar kudus ini.”
“Nak,
selamat ya,” pesan ibu. “Kamu ulang tahun. Selamat ultah. Panjang sabar dan
penuh kasih setia. Saya doakan kamu selali di depan tabernakel.”
Setelah
sekian tahun baru kali ini mereka memberi pesan. Itu pun karena saya ulang
tahun. Mereka tidak lagi bertemu saya secara langsung. Mereka lupa kalau saya
membutuhkan mereka setelah saya tahu saya tak punya orangtua kandung. Saya sangat
rindu kehadiran ayah saya seorang pastor dan ibu saya seorang suster.
Di tepi
dermaga. Rumah tapal batas. Saya adalah anak yang hilang yang tak pernah
kembali. Kehilangan rumah. Kehilangan gereja. Namun tetap merasa memiliki
puisi. Puisi adalah hati yang berbicara. Maka saya menulis isi hatiku di tepi
dermaga.
Tuhan, kapal[1] kami dihempas badai
Labuhkanlah jangkar[2]-Mu
agar gelisah kami redah.
Wisma
Arnoldus Nitapleat, 5 Juli 2020.
[1]
Kapal bagi umat Kristiani
melambangkan Gereja dalam dunia. Kapal menurut bayangan kita memiliki ukuran
besar seperti bahtera. Namun apalah artinya sebuah kapal di tengah samudera
yang luas dan dalam? Ia akan nampak sangat kecil. Untuk melambangkan gereja
yang kecil, kadang dipakai lambang sampan.
[2]
Jangkar melambangkan
harapan dan keselamatan. Lambang ini terdapat pada makam Kristen pada abad ke-4
di Eropa. Seperti kita ketahui setiap kapal dilengkapi dengan alat untuk
berlabuh yang disebut jangkar atau sauh, Maka jangkar menjadi tanda harapan dan
ketenangan, pelabuhan dan kedamaian.
Verry Well My Brother.
BalasHapusWish you still like this👌
Thank you... I try to do my best!
Hapus