Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Edy Soge Ef Er


OKTOBER
(ketika panas harus bersaksi)
I
daun pucat pasi pohon jadi basi
mati tanpa kata hidup tanpa kuyup
terik melata datar duka jelata
suara tak laɡi riuh di sini kini
maka keruh, keluh kesah tubuh
oh oh Oktober duka semesta
lara baɡai semesta jelata
air keruh, panas besi membara
kaca jendela beninɡ letih
atap rumah beɡitu lusuh
hidup kami beɡitu lirih
tanah kering

ɪɪ
Oktober duka semesta
kami pintah kuasa Firdaus
kuasa rakyat tak ternɡianɡ
bersemayam di lembah hukum rimba
kami jelata melata tanpa kata
elit politik hampa nurani
setiap saku, uanɡ bersemayam
beraɡam dosa bertenɡɡer di orɡan pentinɡnya
kau ambil kuasa rakyat denɡan tanɡan kosonɡ
menɡunyanya tanpa pikir suara jelata
Oktober kau denɡunɡkan dalam kantuk tak retak
panasnya kau siram pada semesta jelata
lantas kami harus buat hujan sendiri
terikǃ titik-titik air mata kami
ɪɪɪ
Oktoberː rapal doa jelata
“Tuhan sembuhkanlah demokrasi kami“
Oktober 2014



















LELAP MALAM
dedaunan terlelap dalam malam
mengenal kelam melayang
jarum jam titipkan salam
malam selalu datang
menjadi ranjang bagi dahan kusam
mengekalkan pandang
senyap. Lelap malam
Hokeng, 2015


















DRAMA
menulis dari babak-babak bebatuan
suatu taman gurun
dengan pena pesona
basahi huruf-huruf berat
mengeja suasana:
“di bibir kaktus itu, masih basah kembang-kembang gaib“
Hokeng, Januari 2015



















ANTARA MUSIM DAN LALANG
Januari ada duka rintik-rintik
syair gerimis dan melodi musim
bercumbu di atas asbes

sementara akar lalang tunggal tertancap
”antara musim dan lalang, ada rimbun kelaliman”
Hokeng, 2015



















Penyair dan Secangkir Kopi
kali ini senja memang nakal
singgah tanpa permisi
biasanya ada rasa sapah paling alamiah
menegur di cela dedaunan Jambu
bercanda di beranda
senja lalu menyelinap masuk
masuk ke dalam cangkir kopi
puisi pun tumpah:
“di bibirmu telah mengering sajak cintaku“
penyair takjub tak henti
dan sunyi bergeliat
di antara penyair dan cangkir kopi
Hokeng, 2015













KEMATIAN
Tuhan,  air mataku
selalu berlibur
di dukamu
2015

































SENYUM
doaku paling mulia
Hokeng, 2015

























DI TUNGKU
di tungku
aku memangku luka
menghangatkan duka
menggigil sendiri
Hokeng 2015





















DI BALIK BUKIT
Aku temui mentari senja
Menggigil di balik bukit
Aku tersesat?
 2015






















(..........?)
Aku
selalu menghafal kematianku
Sebab Tuhan ada di sana
2015






















SAMPAH
sampah bertumpuk: sampah budi, sampah hati
air mata berserakan
berlinang di kelam mendung malam
hujan sampah banjir tubuh
tubuh bagai sampah
membusuk di pelataran istana
negaraku
Hokeng, 2015


















LUKA
HP berdering kering
dan aku semakin miskin
sibuk mengobati luka
kabar buruk tentang kau
dan lupa bahwa aku punya luka
Hokeng, 2015




















JENDELA
pada jendela yang paling jujur
aku lihat tanganmu tergandeng
pada jemari yang sulit terbayang
hatiku meleleh
Hokeng, 2015





















MUNGKIN SULIT TAPI PERLU DIPERBUAT
baringkan hening di katup tanganmu
dan denganya berenanglah
ke dalam tubuhmu
lalu rawatilah detak jantungmu
lilin belum padam
Hokeng, 2015





















SELESMA
dadaku terasa berat hebat
bagai tertindih badai rintik November
jantungku berdegup kepanasan
lubang hidung kuyup oleh asin laut
membening temaram penuh lembab

selesma melemas mengelus rongga nafasku
ragaku semakin tak tentram
jiwaku bagai terdera
jauh dari cinta mama-bapa
maka aku terguncang kenangan
selesma adalah rindu yang penuh
rindu mama-bapa
Hokeng, 2015











Menjelang Pemilu
Aku mengalami jumpa yang angkuh
Mungkin juga kau
Menjelang pemilu jadi piluh
Dia di mimbar ingin jadi pilihan
Berkata penuh pilihan kata
Gelora hiperbola:
„aku akan melegahkan nafas-nafas kalian, mewujudkan keadilan sosial secepat kilat.“
Menjelang pemilu
Lidahnya kehilangan cermin di dalam hatinya
Berkata bagai gugur daun
September 2015















Indonesia di Ufuk Barat
(negeriku dalam peradaban senja)
Mentari pertiwi menulis redup
Setiap lelah yang tak terobati
Serupa gagak menemui senyap
Melagukan malam paling sunyi

Kemarau parau keruh meringkuk
Di sepanjang pandang mata
Gigil di tepian bibir
Keluh kesah di pinggir jalan

Kita tiba di lelap senja
Timur hanya tiba tiba-tiba
Lalu jadi cerita paling ibah
Dan kita mesti kenal diri

Tuan berdasi masih karip
Dengan kata-kata uang
Sutradara drama senayan
Lakon penuh aib

Indonesia di ufuk Barat
Menulis gugur Jaminum sambac
Ahh, di manakah tanah terjanji
September 2015

SEPI
sepiku adalah sepi
gagak di dahan tertinggi
sendiri membagi duka sunyi
Hokeng, 3 Januari 2016






















SUATU SENJA
halaman ini ramai cahaya lampu kota
dering-dering zaman dan kisah lamunan
anak-anak berkejaran
memburu kunang-kunang.

suatu senja,
musim-musim yang manis
merobohkan gigi-giginya yang tandus
Januari 2016

















SELEPAS LAMBAIAN TANGAN
aku membungkuk menatap mawar
yang luruh dari langit kenangan
dan mengapa kau bingkiskan bagiku
semekar sunyi yang tak pernah selesai mewangi?
Januari 2016





















PUISI
senja sepi ini
jalan sepi ini
hujan sepi ini
rindu sepi ini
adalah titian menujumu
sebab bagiku kau adalah puisi
Januari 2016



















SUNGGUH PERLU DIDOAKAN
di atas meja sahaja
dengan lampu belajar yang letih bercahaya
aku masih menulis sajak tentang kau
Januari 2016






















KEPADAMU
di musik mengusik
aku memilih berteduh
di atas ranjang
mengingat engkau jauh
dalam iringan melodi
dan gerimis sendiri
Januari 2016



















Cerita Teman
:Untuk Frido Kolin
matamu terlalu indah untuk menangisi cinta

tatkala huruf-huruf dari bibirnya jatuh
dan membentuk cerita ibunya
ia seperti diterkam dingin
dari musim paling pedih
dan menikam kalbunya

matanya menangisi ibunda
gerimis itu merangkai cerita tentang kasih sayang yang terlupakan
Januari 2016














KATA MATA
malam membenam putik lilin
gulita menyita purnama bibir
kelopak kaku bak dipilin
mata merintik bagai benih dicicir
seperti pencuri
malam tiba, tiba-tiba
membalut tubuh dengan lelap gelap
meremukan rusuk yang masih belia
hatiku sendu maut melahap

ranjang pilu aku tak pulih
mata mengatupkan cerita letih
mengguyurkan darah-darah hati
dari hidup piatu tak sehati
dagu setia menemani lutut

jemari lesuh mendekap kaki-kaki sengal
hidup dari nyanyian gagak
mendekap diriku di sudut kesal
akhirnya salib itu kupikul dengan gelora
dalam doa-doa penuh sesal
rintik mata memberi jejak pipi
melintasi nadi-nadi yang muram
sampai kata mata melecut:
“tangisilah dirimu dan anak-anakmu”
Hewa, 10 April 2016

MOMEN KUNCI
buat: G.P
Mutiara di tengah sawah
kilaunya sampai jauh
dikalungkan pada leher sunyi savana
cemerlang menerkam hati kita

momen kunci membuka pintu kata
aku bagai dicumbui kuat-kuat (kau?)
sampai berlabuh di ranum jiwa
rumah ciptamu cermat merayu

ceritamu adalah aksara suci
aku merenung lalu terbang tinggi
dan kudekap penuh ayat-ayat akhlak
maka engkau adalah mahaguru
mengajarkan aku arti perjumpaan tamasya semesta

momen kunci membuka pintu seni NTT
kami ramai-ramai masuk
berkat karya jemarimu semerbak
Guruku Domunis Vobiscum
Selesai
Hewa, 10 April 2016.





SAJAK
bak kepak elang mengudara
mata menangkup ombak menderu
laut seperti pelangi mewangi
senja menebar pesona
horison temaram

lambai air terjun terjal
memanggil riak dan kata hati
syhadu dan angin memetik dawai daun kering

jendela menoreh warna musim
titik air bibir atap jatuh
memagut tanah yang rendah hati
menerima luka membagi ria

uraian legam melati tetangga
kukagumi setiap jumpa
gagap melahap lidahku
gumam mengulum peluh ragu
hatiku dicumbui kembang sunyi

lalu malam tak kuselesaikan
kepadaku sunyi sodorkan sajak
aku benar-benar gila dibuatnya
gelora sajak menerpa bagai ombak pantai selatan
mataku sulit terkatup
aku menghijau
selesai
Hewa, 10 April 2016.






















Altar Ungu
Lagu tobat bersenandung senduh
Setiap perhentian sembah sujud terwujud
Di luar gerimis tercurah
Cat-cat tua dinding kapel luruh

„Tuhan, jam ini berdetak temaram, lekaslah bersama supaya kami tidak karam“

Sampai jeda mata pun layu
Mawar mekar lalu bercanda
„biarlah matamu menangisi nuranimu dan jangan layu pada-Ku“

Jubah Tuhan diundi
Sudahkah kita berbagi?
Altar tampak ungu
Sudah kita bertobat?
April 2016









Taman Kebangkitan
tumbuh berbagai bunga bathin
cinta kasih, iman, dan pengorbanan
dicumbui air dari lambung Mesias
diguyur darah dari luka-luka tragis

Minggu pagi wangian merebak
Roh Allah menggulingkan batu kubur
Tampak warna-warni mengusap mata
Para perempuan takjub, kagum, dan pergi
Membagi putih cinta kasih
Membagi kuning iman
Membagi merah pengorbanan

***
Allah adalah penjaga taman kebangkitan
Dari Golgota kita menuju Eden
Allah mencintai kita
Allah percaya kita
***
Taman kebangkitan adalah mekar seri Galilea
Ke Galilea kita kembali ke awal
“berbahagialah yang berdiri di awal sebab ia akan mengenal akhir dan ia tiadak akan mengalami kematian”
April 2016



Kehilangan Ciuman
Ia lahir berbalut luka
Semarak tangis mengelus duka
Nafas-nafas ibunda habis di sebuah bak penciptaan
Hidup seoarang anak kehilangan ciuman
Mama telah tiada
Bapa merantau menjadi ranjau
Meledakkan rumah tangga
Mengahanguskan kasih sayang

„ia menangis di pangkuan rintik mata, dibelai dengan embun yang sangat berbeda“
Juni 2016














Eksotik
Karena debuh tanah
Dikemas Allah
April 2016























Puisi Tuhan
Akulah jalan, berarti salib, pikulah sampai jauh.
Akulah kebenaran, berarti kematian, berdoalah sepanjang sunyi.
Akulah hidup, berarti kebangkitan, berbuatlah kasih seringan cahaya
April 2016

























Malam (1)
Aku terhanyut
Dalam......
Badai mimpi

Malam (2)
Burung hantu bermain kicau
Merdu......
Dalam rimba rambutku
Malam (3)
Tuhan, bermalam
Di malamku
Dalam dan merdu
Dekapan-Nya
Mei 2016









Masa Kecil
(1)  Aku anak desa gemar canda
Di kemarau yang angkuh
Aku telanjang dada
Menulis debu dalam kawan
Petualangan saudara di tanah lapang
Bola temali pisang, rajutan kakak tetangga
Telah kami lawan

„Bola, debuh, dan tanah lapang adalah cangkir susu pertama masa kecil nan ria.“
(2)  Aku anak kampong, karib bersama kawan mengapung
Di tepian bias senja
Berbagi geli dekat perapian
Lompat ria raih napas-napas api
Laku perjuangan masa kecil

Senja semakin senja
Ketika hembusan nafas terakhir
Ia berbisik:
“jangan biarkan malam datang dan meremukan tulang-tulangku”

(3)  Malam menghimpit bola mataku
Dengan dongeng ayah
Sedang ibu menegur rambutku dengan jemari doa
 Mei 2016




















Fatima Bukit Manuk
Bundaku Kudus,
Bukit Manuk menenun lenan rumahmu
Sembahku mewujud sujud degup harap
Membagi keluh kesah mendesah
Aku dan jiwaku mengadu

Bundaku kupuja,
ziarah iman tumbuh dan mekar
Bukit Manuk-Getsemani Tandus
Beribu doa tumpah
Laut, karang, dan tebing terjal bernyanyi:
„Jiwa kami memuliakan Bunda Fatima“

Fatima Bukit Manuk
Aku nyalakan lilin berdoa
Selasa, 31 Mei 2016












Sunyi Tuhan
Tuhan, di sunyi-Mu aku menjahit pahit
Puisi semesta tentang sedikit sakit
Sepotong pamit
Pulang pada doa-Mu
 Mei 2016





















Doa Pagi
Tuhan di pagi nan dingin
Kurindu begitu ingin
Kita sedingin!
Kecaplah dinginku
Mei 2016





















Mendamba Samba
       : A.C
Bukan lelucuan tanpa romansa
Saat santai kau dekatkan sapa rasa
Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu
Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu

Putri samba kumendamba
Rekah bibir yang jujur,
Tawamu membawaku ke laut senyuman
kau pandai mengganggu riak jiwaku

mengagumimu belum cukup
mendoakanmu belum tentu sempurna
terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati.
Auciliana Costa, putri Samba kumendamba
 Hewa, Juni 2016










LANGIT MATAMU MENDUNG
aku tahu engkau ‘kan berpaling pulang
dan seperti kau tahu hatiku tak rela pintu tertutup,

suatu subuh tanpa kuyup, embun pun layu
kau mengetuk kuping batinku, “Halo ade, langit mataku mendung.”
isak rindu berderai di toilet Kapal Bukit Siguntan

kau menangis, biru itu memudar
derai ombak mengusik, jadi lagu nostalgia,
hatiku menggigil dan embun terbit di mataku

terpaksa kulekatkan erat bantal peluk ke rusuk-rusukku
yang tak lengkap, melengkapi dirimu supaya hati terjaga.
ingat, pagi tiba kau pun berteduh dalam doaku
selamanya....
***     
“Kak, rintik matamu aku simpan buat bekal
bagi gersang hening hari-hariku.”
                                                Suatu Hari, 26 Juni 2016





Musim Yang Pernah Kubayangkan[1]
Angin berarak semarak bagai salju turun
Mencumbui ranting, daun, dan detak jantung
Halaman nan dingin memadamkan pesona bibir
Buah-buah ranum pun kedinginan

Di dalam kamar sunyi
sajak-sajak musim dingin membeku
Aku membungkus erat urat-urat sunyi
Memeluk huruf-huruf sendiri

Ada yang selalu aku ingat
Kesepian Demeter yang melekat
Pada ingatan tentang cerita yang pernah kubaca
Hades ditemani Proserpina

Maka air mata Keres adalah musim dingin tiba
Menggigilkan nadiku
Juni 2016






Pesan Seorang Pelacur
Malam gemerlapan bertakhta megah
Derita hidup menangkup birahi
Kadang ia begitu bahagia
Bayaran yang menjanjikan

Cahaya temaram mempercantik kenyal dada
Sering ia menjerit genit
Harga diri bagai kue coklat
Penetrasi tuan berdasi berhasil

Ia lemas mengemas peluh
Sambil mengenakan celana dalam hitam
Ia berpesan: Ketika darah mencemari urat dan lidah mengingkari kata
Aku hanya ingin engkau berdiri sendiri di atas huruf-huruf doamu

„Seorang pelacur adalah pendoa yang gagal bagi dirinya sendiri“, politisi bergumam

Malam menjadi semakin kelam
Juni 2016







TEPAT DI BIBIR ATAP
Cerita suatu pagi:
Tepat  bibir atap embun menatap
Mengatup lalu tetes jatuh
Membasahi lahan kata nan rindang
Dingin dan gairah.

Cerita pagi berikutnya:
Aku berkunjung ke rumah sahabatku penyair
Di halaman rumahnya telah tumbuh sejuta sajak mekar puisi,
Adalah taman petuah.

Tepat di bibir atap
Kita membuat pilihan:
Mencoba bertahan untuk menimbun rasa takut
Atau pasrah jatuh dan mati
Untuk yang lebih berarti?

Tepat di bibir atap
Aku tak sanggup menatap
Kelopak mataku luruh bersama embun
                                                Juni, 2016





Berdiri Diriku di Tepi Tebing
Waktu yang kicau layu terkulai
Terasa usainya hampir mulai
Kelopak mawar yang mekar di kepalaku membeku
Jiwaku melolong sepoi
Tak ada tempat membasuh keringat
Darah dalam urat mengerut
Di mataku daun gugur berderai
Damai cerai
Ahh, memang harus kualami
Mendung telaga dalam kalbu
Hujan lebat melanda jiwa
Ohh...Rinduku nan Manis Mulia
Sendiri diriku berdiri
Berdiri diriku di tepi tebing
Juni 2016











RUMAH
Derai api tak terjangkau
Tungku pun luka
Pintu jendela merekam kelam
Tertutup tiada bertuan
Lumut-lumut imut mengecup tembok
Daunan rambutan bertaburan buram

Rumah merana sungguh lumrah
Sendirian membesarkan sunyi kelam
Terutama kucup-kucup dendam
Mereka biarkan sunyi menyayangiku
Merantau tanpa tahu
Bahwa hati perlu sapa sunyi

Rumah sunyi merawat sajak-sajakku
Di sana aku membeku
 Juni 2016









Malam yang Tak Terselesaikan
Kasur empuk merangkul tubuhku tercerai
Darah dalam urat hangat membelai
Degup jantung menjadi lebih cepat daripada jarum jam
Sampai pori-pori berseri. Mengagumi malam di tengah hiruk pikuk perasaan penggemar sunyi
Dan tanganku teduh tertempel di dahi
Yang banyak ditumbuhi sajak yang menghijau bagai savana
Malam ini adalah kemarau yang akrab dengan keringat ingatan

Sajakku yang belum selesai
Mengirimkan sejuta anak panah
Dan menikam memori. Nyeri itu membawa aku sampai ke laut lepas
Dan aku menjadi paling sendiri
Lalu mata sulit terkatup

Sajak itu hantu yang menghantaui
Juni 2016









Malam yang Kupertanyakan
Kau gadis Kefa mengeja kata cinta
Dari jumpa menangkup kuatnya cinta
Kala tiba di biara kau masih di perangkap relung merah kasih sayang
Kabari aku malam tiba
Kala aku pikirkan titipanku padamu

„makasih ya, ini bagus sekali“
Katamu yang bagiku adalah entah

Malam di biara membiarkan kau mengaku degup jiwa
„jujur frater aku mencintaimu“
Aku tersenyum dalam tawa yang samar-samar bangga
„mengapa kau mencintaiku yang lebih mencintai panggilanmu?“
Tanyaku pada suatu malam
Dan malam itu kupertanyakan sampai detik ini
Juni 2016










Bukit Manuk Suatu Malam
Bukit Manuk-getsemani tandus-pesona doa
Menenun nyala lilin dan alunan Rosario
Harapan tumpah dari bibir manusia
Putra-putri mengadu berdoa pada Bunda Fatima

Bukit Manuk suatu malam
Ayat-ayat suci meresapi hati
Dawai gitar lantunkan lagu Maria
Malam syhadu doa suci

Bukit Manuk suatu malam
Ombak pun ikut berdoa dengan deburnya
Juni 2016













Tempus
Ia pernah ke Jepang
Sayangnya, hanya empat puluh hari ia di sana
Mengenal filsafat waktu pada seorang professor
Ketika kembali ke Indonesia
Kepadanya diberikan sebuah arloji
Ambillah ini dan milikilah
Supaya anda tidak kehilangan makna hidup
***
Di kamar sempit sebab sudut-sudut telah ditumbuhi sajak-sajak
Ia mulai bermain dengan waktu
Jarum jam diputar ke depan jauh
Ia sangsi dan bertanya: apakah ini yang pernah kuimpikan?
Guru, imam, dosen, dan penyair?
Detak-detak jam berbisik
„kau masih terlalu dingin ingin. Kadang kau cemohi detik-detik yang lagunya kau nikmati. Kembali ke balik dan renungkanlah sajak di punggungmu.“
Ia tapaki masa lalu dan sekali lagi detak-detak jam berbisik sesal: “aku sering bermain di tepian matamu dan menginap di bilik hatimu supaya kau rasa memiliki. Tapi kau lebih mudah lupakan aku dan mencaci maki detik-detik yang kau alami.“

Ia pun sadar tegar berdiri kini dan di sini
Detik-detik masa kini menyapa
„seinci waktu sekaki permata.“

***
Satu ketika ia diundang ke Jepang untuk membacakan puisi
Setelah selesai acara
Ia bertemu profesor dan berkata:“terima kasih guru, aku punya waktu yaitu detak jantungku sendiri.“

Keduanya berpisah sedang waktu menghantui
Juni 2016






















Puisi Pagi Hari
Daun melafalkan puisi bening
„ada debur dingin di gelembung embun“
Kupingku sungguh tak kesepian
 Juli 2016






















Ada Pada Kita
Pandang curiga gapai tutur zinah
Membelenggu kisah kuncup taman
Membagi layu dan gugur tak jauh
Sesama dipenjara dalam kata ingat diri

Huruf-huruf jatuh bagai titis darah
Adalah langkah kita, langkah malam
Menyusuri lorong keji ruang najis
Tubuh didandan wangi zaman
Ditoreh pena noda dosa
Terlena di lenan bertubah

Kita kehilangan mentari jiwa
Ada pada kita adalah yang seharusnya tiada
Agustus 2016


















TUJUH BELAS AGUSTUS
(mengenang HUT persada)
Lahir dari pandang kabut waktu
Silam menyelam kelam peluh titis darah
Angkat senjata menyata benderang menang
Sampai gapai proklamasi merdeka

Di bawah langit terik
Anak-anak pertiwi tegar berbaris
Gelora jiwa berderai merdu dan nyaring
“Indonesi Raya” kibarkan pusaka bangsa

Merah putih mendekap semesta
Berkibar tegar megah, sunyi dan air mata
Ada gagal di tengah persatuan
Pipih masih basah oleh gelisah, derita

Air mata berkata kata gagal
Peluru memburu membagi luka
Terorisme mengiris iman dan agama
Tambang mengambang kembang liang neraka

Tujuh belas agustus,
Mengutus purnama
                                    Kupang (Tofa), 17 Agustus 2017




[1] Puisi ini terinspirasi oleh secuil cerita sejarah musim dingin di Eropa.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJAHMU

Untukmu, Perempuan yang Berwajah “ Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih keadalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan ciuman-ciuman .” ~Edy Soge Ef Er~   Hello Puan, Tangan Tuhan telah membentukmu dengan keagungan dan kecantikan. Perempuan, siapa pun dia, hitam atau putih, cantik atau norak, mulus atau menor, ia tetap indah. Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis. Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala k...

MENDAMBA SAMBA

Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Costa, putri Samba kumendamba   Hewa, Juni 2016 Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Cos...

Via Dolorosa Tuhan dan Pandemi Covid-19

“Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga… tabir bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.”  (Mat27:45,51) Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota Tuhan. Banyak orang di sana. Berada dalam ketidaktentuan pilihan dan jawaban. Sebab imaji Golgota adalah ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Orang-orang menjadi takut dan Tuhan sungguh amat kesepian ditinggal Bapa. Namun iman menjadi terang benderang di hadapan tapal batas kehidupan. Meski ditinggal Bapa Tuhan masih tetap pasrah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Meski takut kepala pasukan tetap mengakui pribadi Ilahi Yesus, “Sungguh orang ini Anak Allah”. Penyamun tersalib menyadari imannya, “Yesus, ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Iman kita diuji di dalam penderi...