IN MEMORIAM MEI[1]
Narasi dan Refleksi Reformasi dalam Puisi Mei Karya Joko Pinurbo[2]
Oleh Edy Soge Ef Er
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(Chairil Anwar)
Reformasi
adalah narasi kebangsaan tentang perjuangan heroik anak bangsa yang sungguh
merasa memiliki NKRI. Mereka adalah orang-orang muda, aktivis
mahasiswa, penggagas organisasi massa mahasiswa dan pemuda, semisal Forkot
(Forum Kota), yang jiwa patriotismenya mekar dengar berani
di ladang demokrasi yang gagal panen. Keberanian mereka mempertahankan
kedaulatan negara dengan menutup rapat-rapat pintu tirani Orde Baru pimpinan Soeharto dan membuka dengan gemilang
gerbang reformasi, membawa dukacita yang mendalam dan sukacita yang harus terus
diperjuangkan. Memang benar bahwa biji gandum itu harus jatuh dan mati supaya
tumbuh dan berbuah. Demikian kisah tragis, episod dolorosa Mei 1998 telah memberi makna bagi kemerdekaan bangsa,
fajar demokrasi terbit merekah terang benderang, kebebasan dan keadilan
mendapat tempat yang layak. Kita patut menunduk kepala, mengenang dengan penuh
hormat mereka yang tinggal tulang-tulang
berserakan: Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan, Heri
Hertanto. Kematian empat orang mahasiswa oleh peluru menembus kulit mengusik
kesadaran rasa, budi, dan karsa sehingga dengan nada melankoli saya memberi
judul: In Memoriam Mei. Diinspirasi
oleh sajak Mei karya Jokpin dan
sajak Krawang-Bekasi karya Chairil Anwar. Karena itu dengan penuh rasa
kagum dan haru saya mengutip puisi Jokpin dan atas perintah Chairil, kenang, kenanglah, terus, teruskan jiwa kami,
berusaha membicarakannya dalam kerangka refleksi reformasi.
Mei
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
tubuh adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(2000)
Jakarta, 1998
Tubuhmu yang cantik, Mei
telah kau persembahkan kepada api.
Kau pamit mandi sore itu.
Kau mandi api.
Api sangat mencintaimu, Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Tubuh yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
tubuh adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Kau sudah selesai mandi, Mei.
Kau sudah mandi api.
Api telah mengungkapkan rahasia cintanya
ketika tubuhmu hancur dan lebur
dengan tubuh bumi;
ketika tak ada lagi yang mempertanyakan
nama dan warna kulitmu, Mei.
(2000)
Narasi
kerusuhan Jakarta Mei 1998 dilukiskan secara puitik-simbolis lewat puisi di
atas. Daya bayang kita bisa pada dua
interpretasi antara Mei sebagai perempuan dan Mei sebagai latar waktu. Jokpin
dengan kemampuan imajinasi kreatif berusaha mengungkapkan realitas objektif ke
dalam realitas puisi yang pastinya menyentuh nurani pembaca. Jika diluksikan
secara objektif-ilmiah sebagai sebuah reportase mungkinnya rangsangan intuitif
tidak terlalu besar. Jokpin membangkitkan
cita rasa kemanusian, menyentuh emosi publik. Ia menulis dengan „cita
rasa“, yaitu dengan kedalaman perasaan kemanusian sebagai kristalisasi dari
„cinta“.[3]
Hal ini mampu menyentuh perasaan dan mengusik kesadaran pembaca.
Saya mencoba
memahami lebih jauh bahwa Mei sebetulnya Jakarta (ibu kota negara) dan mungkin
saja keempat mahasiswa Trisakti yang tertembak. Bahasa puisi sifatnya
metaforik-simbolis dan memiliki personifikasi yang bisa menciptakan banyak
pengertian. Sebuah puisi bisa memiliki lebih dari satu interpretasi tergantung
cara pandang pembaca.
Dalam puisi di
atas kita membaca Mei seolah-olah tidak takut menghadapi api. Bahkan
ia mempersembahkan diri kepada api oleh karena saling mencintai. Jokpin menulis:
Api sangat mencintaimu,
Mei.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Api mengucup tubuhmu
sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi.
Api sangat mencintai tubuhmu
sampai dilumatnya yang cuma warna
yang cuma kulit, yang cuma ilusi.
Apakah ini karena sebuah kepatuhan atau rasa takut yang memaksa untuk menderita dan bahkan mati tanpa meninggalkan jejak. Kekuasaan diktatoris Soeharto adalah api yang membakar hangus wajah Ibu Kota Negara, Jakarta. Kekuasaan sewenang-wenang memaksa orang untuk tunduk pada rezim yang membelenggu.
Tragedi Mei
bukan kisah tunggal melainkan kisah
komunal. Bahwa tubuh Mei yang terbakar adalah juga tubuh kita. Kerusuhan Jakarta
adalah kerushan yang menimpa jiwa seluruh orang-orang Indonesia. Tragedi itu adalah
tragedi kebangsaan kita, Indonesia dari Sambang sampai Merauke.
Tubuh
yang meronta dan meleleh dalam api, Mei
tubuh adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
tubuh adalah juga tubuh kami.
Api ingin membersihkan tubuh maya
dan dusta kami dengan membakar habis
tubuhmu yang cantik, Mei.
Ada idiom menarik,
tubuh maya, tubuh dusta yang mengungkapkan keserakahkan resim waktu itu. Resim
penuh dusta dan korup. Namun, api membakar habis semuanya itu. Soeharto
akhirnya mundur dari tahkta kepresidenan dengan pidato pengunduran diri pada
pagi, 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa. Api kuasa yang ia sulut membakar
dirinya sendiri.
Sajak Mei
adalah sebuah narasi bab pertama era reformasi bangsa Indonesia. Reformasi sebagai
babak baru peradaban bangsa memberi peluang besar bagi pengartikulasiaan
kemerdekaan. Di dalam reformasi liberalisme dan sosialisme dihidupkan demi
keadilan sosial, kebebasan individu, dan kebebasan berdemokrasi.
Sajak Mei juga
secara tersirat membiaskan kepergian kekal empat mahasiswa yang mati tertembak.
Semua telah pergi. Hilang. Tak mampu
mengingat duka sebab menorehkan luka. Ketika
tak ada lagi yang mempertanyakan nama dan warna kulitmu, Mei. Tetapi kita
harus ingat pesan Chairil Anwar.
Kenang, kenang
lah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang
mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenang
lah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Kita harus meneruskan jiwa heroik dan semangat
patriotisme para pahlawan yang memiliki
kebernanian menyuarakan kebenaran dan keadilan seperti kelompok
mahasiswa yang berjuang habis-habisan kala itu. Tanggal 18-21 Mei 1998 massa
mahasiswa melakukan pemusatan demonstrasi, menduduki Gedung Kura-kura kompleks
DPR RI Senayan menuntut mundurnya presiden Soeharto. Mereka telah memberikan
arti untuk bangsa dan negara dengan berjaga terus di garis batas pernyataan dan
impian. Mereka telah berusaha menjaga Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir.
Kita bisa meneruskan semangat itu dengan pertama-tama
mengenang mereka dalam doa. Kemudian kita harus berani mengatakan mana yang salah
dan mana yang benar. Meninggalkan kemapanan dan menceburkan diri ke dalam
realitas hidup masyarakat marginal. Mewartakan kebenaran lewat mimbar sabda
atau mimbar media. Berani mengeritik pemerintahan yang tidak bijak dalam
demokrasi. Dan arti personal reformasi yaitu pembentukan jati diri. Kita tidak
lagi melawan rezim yang lalim dengan berdemonstrasi. Kita pertama-tama berjuang
melawan diri sendiri, segala keinginan dan nafsu rendahan. Domba liar dalam
diri harus dijinakkan. Tubuh kita tubuh maya tubuh dusta yang harus dihanguskan
oleh api Roh Kudus agar kita mampu mengerti apa artinya hidup sebagai seorang
warga negara. Reformasi diri personal harus menjadi idea pertama dan utama.
[1]Mei adalah salah satu judul puisi
Joko Pinurbo yang terdapat dalam buku puisinya berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Puisi ini secara
simbolis menarasikan kerusuhan di Jakarta, Mei 1998; momen reformasi. Mei,
adalah personifikasi dari waktu (Mei, 1998), peristiwa tragis yang menyisihkan
kenangan pahit dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia. Saya pikir judul ini
tepat untuk melukiskan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara (ibu, perempuan) kala
itu dilanda kerusuhan beruntun, 12 Mei gugurnya empat mahasiswa Trisakti, 13
Mei pembakaran mobil , 14 Mei kerusuhan, 18-21 Mei pemusatan demonstrasi
mahasiswa. Jakarta membara dalam api. Jokpin merepresentasikan peristiwa tragis
dengan Mei, mirip nama seorang perempuan, yang mempersembahkan dirinya dibakar
hangus oleh api sampai abu dan orang tak lagi mempertanyakan nama dan warna
kulitnya.
Tulisan ini
mencoba merefleksikan kembali tragedi awal reformasi dan sebetulnya saya
menjawabi seruan imperatif Chairil Anwar, „kenang, kenanglah kami....“ Saya
mengenang dengan penuh hormat para pejuang keadilan yang mati tertembak: Elang
Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan, Heri Hertanto. Mereka adalah
mahasiswa-mahasiswa yang memiliki kepekaan patriotik, spirit pancasila, dan
keberanian berkorban.
[2]Joko pinurbo
atau dikenal Jokpin adalah penyair kontemporer Indonesia. Gaya berpuisinya
khas. Ia menulis tentang pengalaman hidup sehari-hari yang sederhana yang kerap
dilupakan penyair umumnya. Bahkan secara jenaka Jokpin mampu mengungkapkan
secara klise apa yang dianggap tabu oleh masyarakat. Ia apa adanya. Namun,
bernas dalam diksi dan renungan puitiknya tentang hidup sangat meperlihatkan
fungsi literer.
Ia dilahirkan di
Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962. Sudah mulai menulis sewaktu
di SMA Seminari Mertoyudan, Magelang yang diselesaikannya tahun 1981.
Melanjutkan studi perguruan tinggi di
IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma, Yogyakarta; lulus tahun 1987. Kemudian mengajar di almamaternya sambil membantu di majalah
Basis. Sejak 1992 bergabung dengan kelompok Gramedia. Selain menulis dan
menyunting naskah, mengajar dan berceramah, ia ikut mengelola majalah Mata Baca
dan jurnal Puisi. Menulis
banyak buku kumpulan puisi di antaranya, Celana
(Indonesia Tera, 1999), Telepon Genggam
(Kompas, 2003), Kepada Cium (Gramedia
Pustaka Utama, 2005), Baju Bulan: Seuntai
Puisi Pilihan (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Keterangan lebih
lanjut bisa dibaca lewat, http://yosiabdiantindaon.blogspot.com/2012/04/tentang-penyair-ph-joko-pinurbo.html; dan https://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Pinurbo, diakes pada Minggu, 30 Oktober 2018.
[3]Felix
Baghi, SVD, Redeskripsi Dan Ironi,
Mengolah Cita Rasa Kemanusiaan (Maumere: Ledalero, 2014), hlm. iv.
Komentar
Posting Komentar