Indonesia Senja Kala
Oleh: Edy
Soge
Mahasiswa STFK
Ledalero, Maumere
Dari
Paris, 1971, Taufiq Ismail pernah memekikkan suara kebangsaan, “Kembalikan
Indonesia Padaku!”. Taufik tahu bahwa demokrasi Indonesia belum berada pada
posisi ideal sebuah negara merdeka, tetapi masih terombang-ambing di atas
pusaran kekuasaan hegemonik dan otoriter. Indonesia diklaim secara parsial menurut
ideologi agama dan bukan sebagai Bhinneka
Tunggal Ika dengan dasar Pancasila. Dengan ini Indonesia menjadi
problematik – tidak berpijak pada suatu dasar negara yang kuat, tetapi ditarik
ke kiri dan ke kanan, “diperebutkan” oleh kelompok-kelompok dengan ideologi
masing-masing. Situasi ini menyinggung intuisi kebangsaan sang penyair sehingga
meskipun jauh dari bumi Pertiwi masih merindukan Indonesia seperti pada
hakikatnya sebagai negara merdeka. Penyair menulis: “Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,/Hari
depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,/sebagian berwarna putih dan
sebagian hitam,/yang menyala bergantian,/Hari depan Indonesia adalah
pertandingan pingpong siang malam/dengan bola yang bentuknya seperti telur
angsa,/Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam/karena seratus
juta penduduknya,/ Kembalikan/Indonesi padaku//.
Pesimisme Taufiq akan hari depan Indonesia meyakinkan
saya untuk memberi judul tulisan ini ‘Indonesia Senja Kala’. Saya berpikir
bahwa peradaban bangsa ini saat ini belum menunjukkan kegemilangan
menerjemahkan demokrasi hidup bernegara. Negara diancam keutuhannya oleh ambisi
primodial kaum fundamentalis yang memperjuangkan ideologi agama tanpa respek
terhadap pluralitas dan dialog. Kebebasan hidup bernegara diartikulasikan
secara tidak proposial atau bahkan ada pamrih yang menciderai Pancasila. Maka
Indonesia saat ini adalah Indonesia senja kala.
Apakah di usia yang ke-74 ini Indonesia masih menyisipkan
narasi kemiskinan dan kelaparan, ujaran kebenciaan dan propaganda kebohongan?
Iya, hari depan Indonesia adalah dua
ratus juta mulut yang menganga karena kehilangan kecakapan berbahasa secara
santun dan logis. Mulut menganga karena lapar kekuasaan dan haus identitas
bukan karena sebuah dialektika, musyawarah, mufakat. Berjuta-juta orang
beramai-ramai mengucapkan hoax, ramai
masuk koalisi, dan lupa membangun desain politik yang anggun bagi demokrasi.
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt,/sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam,/yang menyala bergantian. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kerja sama dan
dialog yang sehat di dalam negara. Penyelenggaraan pembangunan dinilai
hitam-putih oleh karena kemajuan industri di satu sisi dan masalah
kesejaterahan rakyat dan masalah ekologi di sisi lain. Lingkungan alam
dieksplotasi dan hak masyarakat untuk memeroleh hidup yang layak dilalaikan.
Negara kurang mampu memberi ‘terang’ keadilan sosial dan persatuaan. Tenaga
listrik demokrasi hanya 15 watt sehingga di Jawa cukup terang dan Indonesia
Timur tampak temaram dan hampir gelap.
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong
siang malam/dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa. Baris ini saya baca sebagai kompetisi politik dan
perebutan kekuasaan yang membuat
masyarakat terombang-ambing – dipukul ke sana ke mari; Pancasila atau
Islam. Pilihan hidup bernegara dihadapkan pada dilema mempertahankan identitas bangsa
dan negara dan menjaga keutuhan NKRI. Kemajemukan ditolak sehingga kebhinnekaan
bangsa berbentuk bagai telur angsa,
tidak bulat betul karena ideologi Pancasila tidak diterima oleh sebagian
kelompok orang tertentu. Masing-masing golongan berjuang mempertahankan
pahamnya sendiri.
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang
tenggelam/karena seratus juta penduduknya. Ungkapan konkret penyair yang melukiskan
kompleksitas tidak hanya kepadatan penduduk, tetapi menumpuknya masalah sosial,
ekonomi, politik, dan agama. Bermacam ragam persoalan merupakan beban-beban
hidup bernegara yang bisa menenggelamkan Pulau Jawa (baca: Indonesia). Dengan
demikian citra Indonesia yang plural dan multikultural tinggal cerita dan
kenangan setelah karam di pantai tapal batas.
Baris-baris
puisi Taufiq sebetulnya mengungkapkan satu hal tentang Indonesia bahwa
Indonesia hari ini adalah Indonesia yang diancam keutuhan hidup bernegaranya.
Pijakan kokoh untuk negara digoncang oleh radikalisme dan teror kebohongan dan
kebencian. Sikap antipati macam ini saya mengerti sebagai ironi peradaban
bangsa. Mengakui diri sebagai warga negara Indonesia tetapi kurang patuh dan
belum mampu memberi respek yang benar terhadap negara. Apa arti hidup sebagai
warga negara jika tidak terlibat membangun negara.
Negara
menyediakan seperangkat hukum dan aturan yang harus dijalankan secara
bertanggung jawab. Menjunjung tinggi hukum adalah idea hidup bernegara. Kita
harus terlibat dalam usaha mepertahankan dan membela negara. Di dalam dinamika
ini kita sebetulnya memupuk rasa kemanusian demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Karena itu teriak Taufiq – kembalikan
Indonesia padaku – harus menjadi ide demokrasi yang diperjuangkan terus
menerus. Indonesia harus ditempatkan pada dasarnya yang kokoh yaitu Pancasila.
Empat
puluh delapan tahun yang lalu, penyair fenomenal kelahiran Bukittinggi, 25 Juni
1935, Taufiq Ismail mengajak kita untuk menata ulang demokrasi dan peradaban
bangsa dengan kembali pada akar dan dasar hidup berbangsa dan bernegara.
Indonesia pada hakikatnya adalah bangsa yang damai, santun, dan berbudi luhur.
Kebajikan dan keutamaan bangsa Indonesia sudah termaktub dalam lima sila
Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Karena itu panggilan hidup bernegara adalah
menghayati dan merealisasikan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan
sehari-hari.
Berhadapan dengan masalah ‘razia’ buku-buku kiri di Probolinggo
(27/7/2019) dan di Gramedia Makassar (3/82019), kita harus mengatakan, kembalikan buku-buku pada tempatnya!
Informasi pengatahuan seputar komunisme dan leninisme atau paham-paham kiri bila
ditelaah secara dialektis akan dicapai sintesa yang baik bagi peradaban. Karena
itu banyak orang menolak perilaku pihak yang menghimbau supaya buku-buku kiri
tidak dijual oleh Gramedia. Beberapa buku Romo Franz Magnis-Suseno turut
dirazia karena dianggap menyebarkan
ajaran Karl Max, meskipun gagasan beliau adalah mengeritik Marxisme atau Komunisme. Tindakan Brigade Muslim
Indonesia (BMI) dinilai Romo Magnis sebagai kebodohan yang tidak ada batasnya.
Menurut saya tindakan macam ini adalah bukti orang kurang mampu membangun
sintesa di dalam kehidupan. Cara berpikirnya satu arah dan memandang sebuah
masalah dengan satu sudut pandang saja. Pola pikir macam ini minus diskursus
dan dialog sehingga hanya mampu membangun tesis tetapi tidak menemukan
antitesis apalagi sintesis. Komunisme selalu dipandang sebagai oposisi agama
dan bukan sebagi jalan untuk sebuah komunio yang egaliter. Dengan demikian
seperti sebuah spontanitas menghimbau supaya buku-buku kiri tidak boleh dijual
di tokoh buku. Bisa jadi ini merupakan pelanggaran terhadap akal sehat dan
jawaban atasnya ialah mereka harus membaca buku-buku tersebut lalu memberi
kritik dan darinya tercipta otokritik. Hasil yang diperoleh adalah dialektika
dalam literasi bangsa.
Akhirnya, bersama Taufiq kita berpekik – kembalikan Indonesia padaku! Kita berjuang bersama mendesain
kemajemukan menuju kesatuan dan keutuhan bangsa di atas dasar yang kokoh
Pancasila. Kita menumbuhkan patriotisme supaya fajar demokrasi terbit dengan
cemerlang di persada tercinta, Republik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar