Kumpulan Puisi Edi
Mendamba Samb
:a.c
Bukan lelucuan
tanpa romansa
Saat santai kau
dekatkan sapa rasa
Membuncah ria
menari jemari menyentuh bahu
Kau poles jiwaku
dengan canda yang kutahu
Putri samba
kumendamba
Rekah bibir yang
jujur
Tawamu membawaku
ke laut senyuman
kau pandai
mengganggu riak jiwaku
mengagumimu belum
cukup
mendoakanmu belum
tentu sempurna
terpaksa aku
mengerti dirimu dengan kata hati
Auciliana Costa, putri
Samba kumendamba
Hewa, Juni 2016
Musim Yang Pernah Kubayangkan[1]
Angin berarak semarak bagai
salju turun
Mencumbui ranting, daun,
dan detak jantung
Halaman nan dingin
memadamkan pesona bibir
Buah-buah ranum pun
kedinginan
Di dalam kamar sunyi
sajak-sajak musim dingin
membeku
Aku membungkus erat
urat-urat sunyi
Memeluk huruf-huruf sendiri
Ada yang selalu
aku ingat
Kesepian Demeter
yang melekat
Pada ingatan tentang cerita
yang pernah kubaca
Hades ditemani Proserpina
Maka air mata Keres adalah
musim dingin tiba
Menggigilkan
nadiku
Juni
2016
Pesan Seorang Pelacur
Malam gemerlapan
bertakhta megah
Derita hidup
menangkup birahi
Kadang ia begitu
bahagia
Bayaran yang
menjanjikan
Cahaya temaram
mempercantik kenyal dada
Sering ia menjerit genit
Harga diri bagai kue coklat
Penetrasi tuan
berdasi berhasil
Ia lemas mengemas
peluh
Sambil mengenakan
celana dalam hitam
Ia berpesan:
Ketika darah mencemari urat dan lidah mengingkari kata
Aku hanya ingin
engkau berdiri sendiri di atas huruf-huruf doamu
„Seorang pelacur
adalah pendoa yang gagal bagi dirinya sendiri“, politisi bergumam
Malam menjadi
semakin kelam
Juni
2016
Berdiri Diriku di Tepi Tebing
Waktu yang kicau
layu terkulai
Terasa usainya
hampir mulai
Kelopak mawar yang
mekar di kepalaku membeku
Jiwaku melolong sepoi
Tak ada tempat membasuh
keringat
Darah dalam urat
mengerut
Di mataku daun
gugur berderai
Damai cerai
Ahh, memang harus
kualami
Mendung telaga
dalam kalbu
Hujan lebat
melanda jiwa
Ohh...Rinduku nan
Manis Mulia
Sendiri diriku
berdiri
Berdiri diriku di
tepi tebing
Juni
2016
Malam (1)
Aku terhanyut
Dalam......
Badai mimpi
Malam (2)
Burung hantu
bermain kicau
Merdu......
Dalam rimba
rambutku
Malam (3)
Tuhan, bermalam
Di malamku
Dalam dan merdu
Dekapan-Nya
Mei
2016
Puisi Masa Kecil
(1) Aku anak desa
gemar canda
Di
kemarau yang angkuh
Aku
telanjang dada
Menulis
debu dalam kawan
Petualangan
saudara di tanah lapang
Bola
temali pisang, rajutan kakak tetangga
Telah
kami lawan
„bola,
debuh, dan tanah lapang adalah cangkir susu pertama masa kecil nan riah“
(2)
Aku anak kampong, karib bersama kawan mengapung
Di
tepian bias senja
Berbagi
geli dekat perapian
Lompat
riah raih napas-napas api
Laku
perjuangan masa kecil
Senja
semakin senja
Ketika
hembusan nafas terakhir
Ia
berbisik:
“jangan
biarkan malam datang dan meremukan tulang-tulangku”
(3)
Malam menghimpit bola mataku
Dengan
dongeng ayah
Sedang
ibu menegur rambutku dengan jemari doa
Mei 2016
Fatima Bukit
Manuk[2]
Bundaku
Kudus,
Bukit
Manuk menenun lenan rumahmu
Sembahku
mewujud sujud degup harap
Membagi
keluh kesah mendesah
Aku
dan jiwaku mengadu
Bundaku
kupuja,
ziarah
iman tumbuh dan mekar
Bukit
Manuk-Getsemani Tandus
Beribu
doa tumpah
Laut,
karang, dan tebing terjal bernyanyi:
„Jiwa
kami memuliakan Bunda Fatima“
Fatima
Bukit Manuk
Aku
nyalakan lilin berdoa
Selasa, 31 Mei 2016
Bukit Manuk Suatu Malam
Bukit Manuk, getsemani
tandus pesona doa
Menenun nyala lilin dan
alunan Rosario
Harapan tumpah dari bibir
manusia
Putra-putri mengadu berdoa
pada Bunda Fatima
Bukit Manuk suatu malam
Ayat-ayat suci meresapi
hati
Dawai gitar lantunkan lagu
Maria
Malam syhadu doa suci
Bukit Manuk suatu malam
Ombak pun ikut berdoa
dengan deburnya
Juni 2016
Menjelang Pemilu
Aku mengalami
jumpa yang angkuh
Mungkin juga kau
Menjelang pemilu
jadi piluh
Dia di mimbar
ingin jadi pilihan
Berkata penuh
pilihan kata
Gelora hiperbola:
„aku akan
melegahkan nafas-nafas kalian, mewujudkan keadilan sosial secepat kilat“
Menjelang pemilu
Lidahnya
kehilangan cermin di dalam hatinya
Berkata bagai gugur daun
September 2015
Indonesia di Ufuk Barat
(negeriku dalam peradaban senja)
Mentari pertiwi menulis
redup
Setiap lelah yang tak
terobati
Serupa gagak menemui senyap
Melagukan malam paling
sunyi
Kemarau malau
keruh meringkuk
Di sepanjang pandang mata
Gigil di tepian bibir
Keluh kesah di pinggir
jalan
Kita tiba di lelap senja
Timur hanya tiba tiba-tiba
Lalu jadi cerita paling
ibah
Dan kita mesti kenal diri
Tuan berdasi masih
karip
Dengan kata-kata
uang
Sutradara drama senayan
Lakon penuh aib
Indonesia di ufuk Barat
Menulis gugur Jaminum sambac[3]
Ahh, di manakah tanah terjanji
September 2015
Sunyi Tuhan
Tuhan,
Di sunyi-Mu
Aku menjahit pahit
Puisi semesta
Tentang sedikit
sakit
Sepotong pamit
Ingin pulang
Pada doa-Mu
Mei
2016
Doa Pagi
Tuhan,
Di pagi nan dingin
Kurindu begitu
ingin
Kita sedingin!
Kecaplah dinginku
Mei 2016
Ada Pada Kita
Pandang curiga gapai tutur
zinah
Membelenggu kisah kuncup
taman
Membagi layu dan gugur tak
jauh
Sesama di penjara
dalam kata ingat diri
Huruf-huruf jatuh
bagai titis darah
Adalah langkah
kita, langkah malam
Menyusuri lorong
keji ruang najis
Tubuh didandan
wangi zaman
Ditoreh pena noda
dosa
Terlena di lenan
bertubah
Kita kehilangan
mentari jiwa
Ada pada kita
adalah yang seharusnya tiada
Agustus 2016
Puisi Pagi Hari
Daun melafalkan puisi
bening
„ada debur dingin
di gelembung embun“
Kupingku sungguh
tak kesepian
Juli 2016
Taman Kebangkitan
tumbuh berbagai
bunga bathin
cinta kasih, iman,
dan pengorbanan
dicumbui air dari
lambung Mesias
diguyur darah dari
luka-luka tragis
Minggu pagi wangian merebak
Roh Allah menggulingkan
batu kubur
Tampak warna-warni mengusap
mata
Para perempuan takjub,
kagum, dan pergi
Membagi putih cinta kasih
Membagi kuning iman
Membagi merah pengorbanan
***
Allah adalah penjaga taman
kebangkitan
Dari Golgota kita menuju
Eden
Allah mencintai kita
Allah percaya kita
***
Taman kebangkitan
adalah mekar seri Galilea
Ke Galilea kita kembali ke
awal
“berbahagialah yang berdiri
di awal sebab ia akan mengenal akhir dan ia tiadak akan mengalami kematian”
April 2016
Kata Mata
Malam membenam putik lilin
Gulita menyita purnama
bibir
Kelopak kaku bak dipilin
Mata merintik bagai benih
dicicir
Seperti pencuri, malam datang
tiba-tiba
Membalut tubuh dengan lelap
gelap
Meremukan rusuk yang masih
belia
Hatiku senduh
maup melahap
Ranjang piluh aku tak pulih
Mata mengatupkan cerita
letih
Mengguyurkan darah-darah
hati
Dari hidup piatu
tak sehati
Dagu setia
menemani lutut
Jameri lesuh
mendegap kaki sengal
Hidup dari
nyanyian gagak
Mendekap diriku di
sudut kesal
Akhirnya salib itu
kupikul dengan gelora
Dalam doa-doa
penuh sesal
Rintik mata
memberi jejak pipih
Melintasi
nadi-nadi yang muram
Sampai kata mata
melecut:
„tangisilah dirimu
dan anak-anakmu“
April 2016
RUMAH
Derai api tak
terjangkau
Tungku pun luka
Pintu jendela
merekam kelam
Tertutup tiada bertuan
Lumut-lumut imut
mengecup tembok
Daunan rambutan
bertaburan buram
Rumah merana
sungguh lumrah
Sendirian
membesarkan sunyi kelam
Terutama
kucup-kucup dendam
Mereka biarkan
sunyi menyayangiku
Merantau tanpa
tahu
Bahwa hati perlu
sapa sunyi
Rumah sunyi
merawat sajak-sajakku
Di sana aku membeku
Juni 2016
Malam yang Tak Terselesaikan
Kasur empuk merangkul
tubuhku tercerai
Darah dalam urat hangat
membelai
Degup jantung
menjadi lebih cepat daripada jarum jam
Sampai pori-pori
berseri. Mengagumi malam di tengah hiruk pikuk perasaan dan penggemar sunyi
Dan tanganku teduh
tertempel di dahi
Yang banyak ditumbuhi sajak
yang menghijau bagai savana
Malam ini adalah
kemarau yang akrab dengan keringat ingatan
Sajakku yang belum
selesai
Mengirimkan sejuta
anak panah
Dan menikam
memori. Nyeri itu membawa aku sampai ke laut lepas
Dan aku menjadi
tersendiri
Lalu mata sulit
terkatup
Sajak itu hantu
yang menghantaui
Juni 2016
Malam yang Kupertanyakan
Kau gadis Kefa
mengeja kata cinta
Dari jumpa menangkup
kuatnya cinta
Kala tiba di biara
kau masih di perangkap relung merah kasih sayang
Kabari aku malam
tiba
Kalau aku pikirkan
titipanmu padamu
„makasih ya, ini
bagus sekali“
Katamu yang bagiku
adalah entah
Malam di biara
membiarkan kau mengaku degup jiwa
„jujur frater aku
mencintaimu“
Aku tersenyum
dalam tawa yang samar-samar bangga
„mengapa kau
mencintaiku yang lebih mencintai panggilanmu?“
Tanyaku pada suatu
malam
Dan malam itu
kupertanyakan sampai detik ini
Juni 2016
Cerita Teman
:Untuk Frido Kolin
matamu terlalu
indah untuk menangisi cinta
tatkalah
huruf-huruf dari bibirnya jatuh
dan membentuk cerita ibunya
ia seperti diterkam dingin
dari musim paling
pedih
dan menikam
kalbunya
matanya menangisi
ibunda
gerimis itu
merangkai cerita tentang kasih sayang yang terlupakan
Januari 2016
Altar Ungu
Lagu tobat
bersenandung senduh
Setiap perhentian sembah
sujud terwujud
Di luar gerimis tercurah
Cat-cat tua dinding kapel
luruh
„Tuhan, jam ini berdetak
temaram, lekaslah bersama supaya kami tidak karam“
Sampai jedah mata
pun layu
Mawar mekar lalu
bercanda
„biarlah matamu
menangisi nuranimu dan jangan layu pada-Ku“
Jubah Tuhan diundi
Sudahkah kita
berbagi?
Altar tampak ungu
Sudah kita bertobat?
April 2016
Kehilangan Ciuman
Ia lahir berbalut
luka
Semarak tangis
mengelus duka
Nafas-nafas ibunda
habis di sebuah bak penciptaan
Hidup seoarang
anak kehilangan ciuman
Mama telah tiada
Bapa merantau
menjadi ranjau
Meledakkan rumah
tangga
Mengahanguskan
kasih sayang
„ia menangis di pangkuan
rintik mata, dibelai dengan embun yang sangat berbeda“
Juni 2016
Eksotik
Karena debuh tanah
Dikemas Allah
April 2016
Puisi Tuhan
Akulah jalan,
berarti salib, pikulah sampai jauh.
Akulah kebenaran,
berarti kematian, berdoalah sepanjang sunyi.
Akulah hidup,
berarti kebangkitan, berbuatlah kasih seringan cahaya
April 2016
Tempus
Ia pernah ke Jepang
Sayangnya, hanya empat
puluh hari ia di sana
Mengenal filsafat
waktu pada seorang professor
Ketika kembali ke
Indonesia
Kepadanya
diberikan sebuah arloji
Ambillah ini dan
milikilah
Supaya anda tidak
kehilangan makna hidup
***
Di kamar sempit
sebab sudut-sudut telah ditumbuhi sajak-sajak
Ia mulai bermain
dengan waktu
Jarum jam diputar
ke depan jauh
Ia sangsi dan
bertanya: apakah ini yang pernah kuimpikan?
Guru, imam, dosen,
dan penyair?
Detak-detak jam
berbisik
„kau masih terlalu
dingin ingin. Kadang kau cemohi detik-detik yang lagunya kau nikmati. Kembali
ke balik dan renungkanlah sajak di punggungmu.“
Ia tapaki masa
lalu dan sekali lagi detak-detak jam berbisik sesal: “aku sering bermain di
tepian matamu dan menginap di bilik hatimu supaya kau rasa memiliki. Tapi kau
lebih mudah lupahkan aku dan mencaci maki detik-detik yang kau alami.“
Ia pun sadar tegar
berdiri kini dan di sini
Detik-detik masa kini
menyapa
„seinci waktu
sekaki permata.“
***
Satu ketika ia
diundang ke Jepang untuk membacakan puisi
Setelah selesai
acara
Ia bertemu
profesor dan berkata:“terimakasih guru, aku punya waktu yaitu detak jantungku
sendiri.“
Keduanya berpisah
sedang waktu menghantui
Juni 2016
Komentar
Posting Komentar