Praktik
Piong dalam Masyarakat Sikka dan Penghormatan
Kepada Arwah Orang Beriman dalam Gereja
(Analisis
Antropologis-Teologis atas Tradisi Masyarakat dan Tradisi Gereja)
Latar
Belakang Teoretis dan Alasan Pemilihan Judul
Manusia dan kebudayaan merupakan dua entitas
realitas aktual dalam dunia yang saling mengandaikan keberadaan masing-masing.
Manusia dengan keutuhannya sebagai person (jiwa-raga) menciptakan kebudayaan
dan kebudayaan menghantar manusia kepada jawaban kehidupan. Tidak ada manusia
tanpa kebudayaan sebab keberadaan manusia mengafirmasi adanya kebudayaan itu
sendiri. Jika kebudayaan itu tidak ada, peradaban bangsa manusia pun tidak ada.
Kebudayaan itu potensial menegakkan peradaban manusia suatu bangsa. Di dalam
kebudayaan kemanusiaan otentik diperoleh lewat proses belajar dari waktu ke
waktu.
Proeses belajar di
dalam kebudayaan bermuara pada dinamika pewarisan dari generasi ke generasi.
Apa yang dibuat saat ini sebagai aktivitas kebudayaan bukanlah hal baru temuan
generasi sekarang, melainkan apa yang sudah diwariskan dan itu dihidupi terus
menerus. Tidak semua warisan kebudayaan bertahan hingga kini sebab perubahan
zaman turut membentuk dinamika masyarakat dalam menghidupi kebudayaannya. Ada
kebudayaan tertentu yang tidak cocok atau bertentangan dengan kondisi
masyarakat modern. Karena itu corak kebudayaan itu ditinggalkan atau jika
mungkin dimodifikasi untuk memperoleh bentuk baru demi menunjang kehidupan
masyarakat penganutnya. Namun ada pula praktik kebudayaan yang dilihat masih
cocok dan relevan dengan konteks kehidupan masyarakat sehinggan tetap dipertahankan
keasliannya. Usaha mepertahankan dan membaharui kebudayaan selalu bergerak di
dalam proses asimilasi dan akulturasi.
Salah praktik
kebudayaan masyarakat tradisional adalah penghormatan kepada leluhur. Ada
keyakinan bahwa jiwa orang yang meninggal masih tetap hidup dan tinggal pada
tempat-tempat tertentu. Keyakinan ini dihidupi oleh sebagian besar negara-negara
Asia Timur seperti Cina, Korea, dan Jepang juga di Asia Tenggara seperti
Indonesia, Kamboja dan Myanmar. Kecintaan dan rasa hormat mereka kepada leluhur
menunjukkan suatu harapan dan keyakinan akan adanya kehidupan sesudah kematian.
Bahwa badan, tubuh dapat mati tetapi
jiwa tidak dapat mati (Ceme, 2011:66). Prinsip mortalitas badan dan imortalitas
jiwa ini menjadi landasan kultural dalam praktek kebudayaan masyarakat kita
untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal dengan memberi makan
(sesajian), mengunjungi makam, dan mendoakan mereka agar perjalanan menuju
keabadian kekal tidak mendapat tantangan.
Penghormatan kepada
leluhur (ancestor veneration)
merupakan ekspresi cinta dan respek dari orang yang masih hidup kepada mereka
yang telah meninggal. Dalam kebudayaan kita ada keyakinan dan kepercayaan bahwa
orang yang telah meninggal masih memiliki kehidupan di alam baka dan dapat
memberi pertolongan sebab jiwa mereka dekat dengan wujud tertinggi yang dalam
iman Katolik disebut Allah. Karena itu penghormatan kepada leluhur mengandaikan
iman akan hidup sesudah mati, kepercayaan akan wujud tertinggi dan merupakan
kesalehan religius kerakyatan (Jebadu, 2009:10, 53, 84).
Penghormatan leluhur
dalam pandangan tradisional dapat dilihat dalam tradisi memberikan sesaji
kepada arwah leluhur. Biasanya sesaji berupa makanan, minuman, lauk-pauk dan
buah-buahan diletakan di sudut kamar, di atas kuburan, atau di tempat lain
disertai dengan lilin yang bernyala atau pelita (lampu minyak tanah). Tradisi
ini ada hampir di setiap suku-suku di Indonesia seperti suku Jawa, Cina, Dayak,
dan suku-suku di NTT. Ada keyakinan yang dianut oleh masyarakat tradisional
bahwa orang-orang (para leluhur) yang sudah meninggal tidak mati tetapi hidup
di alam baka (FX. Samson, “Cinta Kepada Leluhur”, dalam Kana, Edisi 011, Tahun 05, 1November 2010: 11). Ekspresi keyakinan
dan kepercayaan masyarakat kita dilandasi oleh aspek religious capital yang dimilikinya dan ini merupakan bagian dari spiritual capital. Spiritual capital memampukan manusia untuk beragama dan religious capital memampukan manusia
untuk mengungkapakan kesadaran manusia akan adanya roh baik dalam diri maupun
di luar diri manusia (Bele, 2011:4).
Praktik penghormatan
kepada leluhur ada juga dalam tradisi Gereja Katolik yang secara khusus
memperingati dan mendoakan orang-orang yang sudah meninggal setiap tahun pada
tanggal 02 November. Bahkan dalam setiap Perayaan Ekaristi di bagian Doa Syukur
Agung selalu ada bagian doa untuk mereka yang telah meninggal. Gereja Katolik
sama sekali tidak melarang orang beriman mendoakan para leluhur dan anggota
keluarga yang telah meninggal. Namun bagaimana dengan orang yang sudah beriman
kepada Kristus tetapi masih melakukan tradisi memberikan sesaji kepada leluhur?
Apakah ini merupakan tindakan berhala dan melawan ajaran Gereja? Ataukah ada
semacam dualisme keyakinan yang dihidupi oleh masyarakat kita?
Sebelum Konsili Vatikan
II Gereja sangat triumfalistik dan menutup diri terhadap setiap kekayaan
kultural dan tradisi masyarakat. Para misionaris dulu mengaggap praktik
kebudayaan seperti pemberian sesaji kepada leluhur sebagai penyembahan berhala
sehingga mereka berusaha melenyapkannya, bahkan rumah adat pun dibakar. Namun
Gereja membaharui diri (agrionamento)
dan berusaha belajar dari kebudayaan masyarkat untuk meperkaya iman dan
mendesain praktik hidup beragama secara khas kultural. Hal ini dirasakan
sesudah Konsili Vatikan II dengan kekhasan misi
ad gentes dan inter gentes juga
praktek inkulturasi dalam liturgi.
Ada pengaruh yang harus
diperhatikan antara keyakinan tradisi masyarakat tradisional dan penghayatan
iman Katolik. Rupaya orang tertentu lebih cenderung percaya pada tradisi
kebudayaan tradisional daripada Gereja dan agama. Atau ada yang lebih
mengutamakan praktek keagaaman daripada adat istiadat dan kebudayaan sehingga
mempengaruhi keseimbangan hidup sosial budaya kemasyarkatan. Sebetulnya kita
dapat menemukan korelasi positif antara tradisi masyarakat dan tradisi Gereja
Katolik dan berjuang menjaga keseimbangan
penghayatan akan adat budaya dan agama.
Dilema ini menjadi
latar belakang penelitian dengan judul Praktik
Piong dalam Masyarakat Sikka dan Penghormatan
Arwah Orang Beriman dalam Gereja (Analisis Antropologis-Teologis atas Tradisi
Masyarakat dan Tradisi Gereja). Dari judul ini kelompok berusaha mencari
tahu, mempelajari, dan menjelaskan dan memahami tradisi penghormatan kepada
leluhur (piong) dalam masyarakat
Sikka dan penghormatan arwah orang beriman dalam Gereja di mana relevansi
keduanya dapat dijelaskan secara antropologis dan teologis.
Proses
dan Mekanisme Kerja
Setelah mengetahui
bahwa kami mendapat tugas penelitian sosial dengan metode observasi partisipasi
di lapangan, kami mengadakan pertemuan untuk memilih lokasi penelitian. Dari pertemuan itu kami memilih
salah satu kebudayaan masyarakat Sikka yaitu piong dan tempat yang dipilih yaitu lingkungan Wairpelit, Desa
Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka.
Proses selanjutnya
yaitu membagi tugas kepada setiap anggota untuk bertanggung jawab terhadap
bagian-bagiannya yang sudah dibagikan. Ada yang mencari sumber di perpustakaan
juga buku-buku pribadi yang membahas tentang kebudayaan berupa penghormatan
kepada leluhur, lebih khusus kebudayaan masyarakat Sikka dan buku-buku yang
berbicara tentang tradisi Gereja (penghormatan arwah orang beriman), iman, dan
agama. Selain itu ada beberapa anggota yang harus mendekati narasumber untuk
mencari tahu tentang tradisi penghormatan kepada leluhur guna menambah wawasan
dan pemahaman kami tentang piong.
Pertemuan diadakan
sebanyak empat kali untuk melihat kembali dan merumuskan bahan-bahan dari tiap
anggota demi memperoleh sebuah keruntutan penulisan proposal penelitian.
Pertemuan demi pertemuan berjalan dengan baik karena setiap anggota bertanggung
jawab dengan tugasnya masing-masing.
Lokasi
dan Subjek
Lokasi yang dipilih
yaitu lingkungan wairpelit desa takplager.
Permasalahan
Masalah pokok dari
penelitian ini yaitu apakah ada hubungan
antara praktik piong dalam masyarakat Sikka dengan tradisi penghormatan arwah
orang beriman dalam Gereja?
Selain masalah utama di
atas ada maslah-masalah lain yang dapat dirumuskan dan menjadi pedoman
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Apa itu praktik piong dalam masyarakat Sikka dan apa itu tradisi penghormatan arwah
orang beriman dalam Gereja?
2.
Apa itu tradisi masyarakat dan tradisi
gereja dan bagaimana hubungan antara keduanya?
3.
Siapa itu masyarakat Sikka?
4.
Bagaimana masyarakat Sikka menjaga
keseimbangan penghayatan antara menjalankan adat (tradisi piong) dan melaksanakan tradisi penghormatan arwah orang beriman
dalam Gereja?
Hipotesis
dan Asumsi
Hipotesis dan asumsi
yang dapat dijabarkan dari penelitian ini yaitu masyarakat Sikka masih
berpegang teguh pada tradisi adat di satu sisi, dan sudah mengenal hidup
beriman dalam Gereja di sisi lain. Namun bisa jadi tradisi masyarakat
dipertahankan dan tradisi gereja diabaikan atau sebaliknya tradisi gereja
diutamakan dan tradisi adat masyarakat dikesampingkan.
Asumsi yang dapat
ditarik adalah:
1.
Masyarakat Sikka masih menaruh keyakinan
pada leluhur dan itu dibuat dalam ritual adat (piong) dan mereka menemukan jawaban atas persoalan hidup di dalam
adat budaya mereka. Mereka bisa saja lebih menaruh keyakinan kepada adat dan
lalai dalam hidup beriman di dalam Gereja.
2.
Masyarakat Sikka menganggap praktik piong sebagai praktik yang sia-sia dan
itu mengkhianati keyakinan hidup
beragama.
3.
Masyarakat Sikka tetap mepertahnakan kedua-duanya
antara adat dan agama, antara tradisi masyarakat dan tradisi Gereja.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini dibuat
dengan tujuan:
Pertama, menjelaskan
arti dan tujuan dari praktik piong
dalam masyarakat Sikka dan penghormatan arwah orang beriman dalam Gereja.
Penjelasan ini dibuat dengan menggunakan dasar argumentasi antropologis dan
teologis. Dari gagasan ini kita dapat menarik hubungan antara tradisi
masyarakat dan tradisi gereja.
Kedua, mengajak semua
pihak untuk tetap menghargai kebudayaan dalam masyaraktnya sendiri dan tetap
memperhatikan kehidupan iman dalam Gereja. Tidak bisa menganggap salah satu
tradisi lebih benar dan yang lain salah.
Ketiga, mengajak
pemerintah Kabupaten Sikka dalam hal ini yang mengatur tentang kebudayaan untuk
mendorong semangat cinta kebudayaan daerah dengan membuka peluang pengembangan
kebudayaan agar tidak hilang.
Keempat, mengajak
masyarakat Sikka khususnya masyarakat lingkungan Wairpelit untuk tetap mempertahankan
kebudayaan dan tradisi yang masih relevan dan berguna bagi kehidupan.
Metode
dan Teknik
Metode penelitian yang
akan digunakan yaitu metode observasi partisipasi. Bersamaan dengan metode ini
akan dibuat wawancara dengan informan kunci, pembicaraan tidak resmi dengan
tokoh-tokoh masyarakat atau umat dan bincang-bincang sederhana dengan
masyarakat biasa. Dalam metode ini diusahakan agar sedapat mungkin
berpartisipasi langsung saat kegiatan ritual piong dibuat agar tahu jalannya ritual, apa saja yang dibutuhkan
dan dibuat. Kemudian metode lain yaitu kepustakaan dengan mengambil bahan
teoretis seputar tradisi gereja, iman, dan penghormatan kepada arwah orang
beriman.
Tantangan
dan Hambatan
Kesulitaan dalam
penelitian ini yaitu mencari informan kunci. Namun hambatan ini bisa diatasi. Kami
dari kelompok harus berusaha mencari tokoh-tokoh adat atau orang yang pakar
dalam menjelaskan secara detail tentang pratik piong dalam masyarakat Sikka.
Kesulitan lain seperti
pemanfaatan waktu, karena kami sebagai anggota kelompok memiliki kesibukan
masing-masing seperti melaksanakan tugas-tugas dari mata kuliah lain. Namun
masalah ini juga bisa diatasi dengan membentuk suatu kesepakatan bersama dan
kerelaan dalam bekerja untuk bisa menyelesaikan bahan ini dengan baik.
Perbedaan budaya juga
menjadi tantangan bagi kami untuk membuat penelitian ini, apalagi setiap kami
mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dan tidak semua dari kami berasal
dari Sikka tetapi kami bisa mengatasi masalah ini dengan sedikit memahami
budaya Sikka dan bahasanya karena hampir satu tahun berada di Sikka kami
sedikit memahaminya.
Terminologi
dan Term Teknis
Piong
(Sikka) berarti memanggil. Dengan menjalankan ritual piong orang Sikka
memanggil para leluhur yang diyakini tetap hidup di alam baka untuk datang
melihat dan mendengar suka duka cerita hidup mereka. Pada saat itu juga mereka
memohon bantuan dari para leluhur demi kehidupan baik di bumi.
Watu
mahang (Sikka) adalah sebuah piringan batu di salah satu
ruangan rumah – sudut kamar – tempat diletakkan sesaji.
Kabor
kubar (Sikka) adalah kelapa muda yang airnya direciki
saat upacara.
Tradisi
gereja dalam tulisan ini dipahami sebagai kebiasaan turun
temurun yang diwarisan oleh Gereja dari generasi ke generasi seperti peringatan
orang kudus dan arwah orang beriman yang dirayakan secara khusus setiap tanggal
02 November.
Tradisi
masyarakat merupakan warisan nenek moyang yang masih tetap
dipertahanakan saat ini. Piong merupakan
salah warisan budaya masyarakat tradisional orang Sikka.
Iman
adalah keyakinan akan sesuatu yang tidak bisa dilihat tapi dirasakan
pengaruhnya dalam kehidupan nyata.
Sistematika
Penulisan
Praktik Piong dalam
Masyarakat Sikka dan Penghormatan Kepada Arwah Orang Beriman dalam Gereja (Analisis
Antropologis-Teologis atas Tradisi Masyarakat dan Tradisi Gereja)
PENDAHULUAN
LOKASI
DAN PENDUDUK
Wairpelit
PRAKTIK
PIONG DALAM MASYARAKAT SIKKA
PENGHORMATAN
ARWAH ORANG BERIMAN DALAM GEREJA
ANALISIS
ANTROPOLOGI DAN TEOLOGIS ATAS TRADISI MASYARAKAT DAN TRADISI GEREJA
PENUTUP
Kepustakaan
Bele, Antonius. Nurani
orang buna’, spiritual capital dalam pembangunan. Kupang: gita kasih, 2016.
Ceme, Remegius. Hidup
yang sesungguhnya, menjawab rahasia di balik kematian. Maumere; penerbit
ledalero, 2011.
---------------------.
Mengungkap relasi dasar allah dan manusia. Maumere: penerbit ledalero, 2017.
Jebadu, alex. Bukan
berhala! Penghormatan kepada leluhur. Maumere: penerbit ledalero, 2009.
Subagya, r. agama dan
alam kerohanian asli di Indonesia. Jakarta: yayasan cipta loka caraka, 1979.
Majalah
Kana,
011 Tahun 05 I November 2011
Komentar
Posting Komentar