Langsung ke konten utama

PUISI EDY SOGE EF ER



PILIHAN
Di halaman istana negara dua bocah bermain layang-layang
Keduanya memiliki layang-layang yang berbeda warna
Yang satu merah dan yang satu putih

Angin senja melambai bagai menderu
Layang-layang mereka dibuai ke sana ke mari di cakrawala
"Indonesia tak punya arah. Indonesia senja kala."
Mereka berteriak gembira sambil berlari

Tiba-tiba layang-layang mereka tersangkut di tiang bendera yang tanpa bendera
Layang-layang merah putih berkibar
Keduanya berhenti, terdiam.....

Seorang tua datang dari beranda
Menemui dua bocah itu dan bertanya
"Merah atau putih layang-layangmu?"
"Aku bukan merah" kata yang seorang
"Aku bukan putih" kata yang lain
"Layang-layangku merah putih!" Keduanya berteriak

"Kita indonesia
Kita bukan merah
Kita bukan putih
Kita merah putih"
Dua bocah itu bernyanyi
Ledalero, 9 April 2019

LEDALERO SUATU HARI
Aku ingat Ledalero suatu hari
Ketika terik pecah di bubungan kapel

Aku datang dari rindu
Serimbun awan cakrawala

Berkawan bagai pipit di ladang
Hinggap di bulir-bulir sunyi bukit Sandar Matahari

Bahagia umpama mekar bakung
Tertawa riang ibarat katong semar

Aku ingat Ledalero suatu hari
Saat putik senja gugur di pesisir Nilo

Aku angkat kaki dari rasa tak sudi
Ingin tinggal di belantara senyum kawan-kawan

Sedikit galau bagai layu daun cemara
Ketika kali ini aku berlibur

Ledalero suatu hari
Aku ingin tetap bersama

Ledalero, 4 Mei 2019

MALAM KEPERGIAN
(In memoriam Ibu Ina Uran)

di depan kapel agung
aku terima kabar duka

sesak di dada gemuruh di pelupuk mata
malam ini malam kepergian
ibu pun pulang

kamis putih hari pisah
guru dari murid-murid
ibu dari anak-anak, suami, keluarga, dan sahabat

cawan terakhir isyarat kematian
aku kenang hari libur sempat bertemu ibu
di dapur segala cerita

secangkir kopi sepiring nasi
diselingi kisah perkemahan
nyanyian pramuka irama kemenangan

jumpa kita di bandara
ketika ibu bersama anak hendak ke Jakarta
lalu kini tak kembali

begitu cepat cawan terakhir Tuhan beri
ibu pun pergi di malam perjamuan terakhir

di depan kapel agung
aku terima kabar duka

maka kuketuk rumah Tuhan dengan doa
"Bapa sumber kehidupan, terimalah hamba-Mu
dalam perjampuan abadi di surga. Amin."
Ledalero, 18 April 2019
*Edy Soge Ef Er, penghuni wisma St. Arnoldus Nitapleat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJAHMU

Untukmu, Perempuan yang Berwajah “ Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih keadalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan ciuman-ciuman .” ~Edy Soge Ef Er~   Hello Puan, Tangan Tuhan telah membentukmu dengan keagungan dan kecantikan. Perempuan, siapa pun dia, hitam atau putih, cantik atau norak, mulus atau menor, ia tetap indah. Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis. Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala k...

MENDAMBA SAMBA

Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Costa, putri Samba kumendamba   Hewa, Juni 2016 Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Cos...

Via Dolorosa Tuhan dan Pandemi Covid-19

“Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga… tabir bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.”  (Mat27:45,51) Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota Tuhan. Banyak orang di sana. Berada dalam ketidaktentuan pilihan dan jawaban. Sebab imaji Golgota adalah ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Orang-orang menjadi takut dan Tuhan sungguh amat kesepian ditinggal Bapa. Namun iman menjadi terang benderang di hadapan tapal batas kehidupan. Meski ditinggal Bapa Tuhan masih tetap pasrah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Meski takut kepala pasukan tetap mengakui pribadi Ilahi Yesus, “Sungguh orang ini Anak Allah”. Penyamun tersalib menyadari imannya, “Yesus, ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Iman kita diuji di dalam penderi...