Langsung ke konten utama

Paper Teologi Penciptaan


Nama :  Oktovianus Ediwisius Plaja Soge
NPM    :  18.75.6408
Tugas :  Teologi Fundamental

Dari Contemplatio Kepada Actio
(Refleksi Hidup Beriman Orang Terpanggil)

Fides sine operibus mortura est.”
(Yak 2:17)

Pengantar
Hidup beriman, hidup beragama, dan hidup religius merupakan dinamika rohani gerak spiritual yang beranjak dari kesunyian dan kemuliaan Tabor kepada keramaian kota Yerusalem, dari altar kepada pasar, dari doa kepada aksi, dari pewartaan kepada tindakan, dari contemplatio kepada actio. Ada pergerakan atau peralihan (passing over) dari perjumpaan personal dengan Tuhan dalam hening doa-doa kepada panggilan misioner dan pelayanan kepada sesama yang menderita, miskin, dan tersingkirkan. Maka keutamaan hidup beriman adalah pastoral kehadiran; partisipasi aktif dalam dunia. The act of faith[1] tidak hanya berkisar pada doa, ritus, kultus, dan devosi-devosi, atau pada dimensi intelektual dan afektif saja, tetapi juga dimensi praksis, tindakan konkrit sebagai jawaban riil atas  keberimanan kita akan Allah. Namun, dewasa ini hidup beriman orang terpanggil diserang sakit “mati rasa” lantaran merasa nyaman dalam menara gading rumah selibat, tinggal tetap di biara dan enggan keluar dari selubung kenyamanan untuk empati kemanusiaan demi terciptanya Kerajaan Allah. Merasa cukup dengan beragama (having a religion) tanpa memperhatikan keharusan menjadi religius (being religious).

Contemplatio: Jalan Menuju Allah
Allah telah menyatakan diri-Nya lewat Putra-Nya yang terkasih Yesus Kristus. Allah rela menjadi manusia dan tinggal di dalamnya. Begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya manusia beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Komunikasi diri Allah inilah yang kita sebut wahyu. Allah mewahyukan diri dalam bahasa manusia, secara antropik dan manusia mengenal Allah secara analogis.[2] Relasi keduanya dimungkinkan oleh iman sebagai jawaban bebas manusia. Manusia memiliki di dalamnya dirinya dimensi spiritual dan transeden; keterbukaan dan keterarahkan kepada Allah.[3] Rindu memandang wajah Allah menjadi dorongan kodrati yang abadi. Di dalam hidupnya manusia tak berhenti merindukan Allah. St. Agustinus mengatakan hatiku belum tentram, sebelum beristirahat pada-Mu. Menjawabi kehausan rohani manusia bergerak ke tempat sunyi dan berdoa. Doa  (contemplatio) adalah jalan menuju Allah. Dengan melewati jalan ini manusia beroleh kasih karunia demi kasih karunia. Karena itu contemplatio (doa, sabda, ekaristi) sangat penting dalam kehidupan orang beriman, khususnya mereka yang dipanggil secara khusus untuk hidup selibat dan membiara.

Hidup Doa dan Panggilan
Doa adalah pertemuan manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus. Orang beriman
berkat Roh Kudus yang berdiam dalam hatinya selalu dan secara eksistensial berdoa; dan keadaan itu dibahasakan dalam doa batin (renungan, meditasi, kontemplasi) dan lisan. Di dalam doa orang beriman “berbicara dengan Allah” menyampaikan isi hati dalam kepercayaan penuh kepada Allah Bapa atau Allah Putra sebagai pengantara satu-satunya.[4] Sedangkan panggilan merupakan rahmat yang diberikan Allah bagi mereka yang demi Kerajaan Allah memilih untuk menjalani hidup wadat, selibat dan berkaul. Panggilan datang dari pihak Allah dan manusia dalam kebebasannya menjawabi sapaan Allah itu dengan mempersembahkan diri secara total bagi Allah. Dengan ini keduanya bersatu dalam cinta mesra yang suci. Kekuatan perkawinan rohani mereka adalah doa. Tanpa doa panggilan tidak mungkin bertumbuh. Hidup doa adalah realitas panggilan.
Pemahaman ini mengafirmasi bahwa hidup doa adalah domain penting dalam kehidupan orang terpanggil, selibat dan religius. Tuhan memanggil mereka secara khusus untuk bekerja meneruskan karya keselamatan bagi dunia. Mereka itulah para imam, biarawan-biarawati yang menjalani hidup wadat, selibat dan dalam penghayatan kaul-kaul. Hidup panggilan suci ini dilihat sebagai representasi eskatologis dan para imam disebut sebagai impersona Christi. Kristus hadir di dalam diri imam yang merayakan ekaristi. Betapa dekatnya intimacy spiritual, relasi mereka dengan Tuhan. Mereka hidup dalam penghayatan doa yang mendalam. Masuk dan tenggelam dalam keheningan untuk memandang wajah Allah dari dekat.
Hidup doa adalah kekuatan dalam panggilan. Pertumbuhan dan kesuburan panggilan sangat ditentukan oleh dinamika hidup spiritual, hidup doa yang setia dihayati. Ini sangat penting sebab mereka tidak berdoa untuk dirinya sendri, tetapi untuk gereja, semua umat beriman. Penghayatan hidup doa ini harus dibuat dalam kebenaran dan dalam roh. Berdoa dalam kebenaran berarti berdoa “dalam Yesus”, yaitu “dalam kebenaran Kristiani”, dalam kenyataan keselamatan yang dibawa-Nya. Dalam roh berarti berdoa dengan bebas dari pandangan dan aktivitas kebadanan, kebendaan. Berdoa dalam roh merupakan ungkapan kepada Allah Bapa. Doa harus menjadi ekpresi dari cinta kasih kepada Allah.[5]
Relitas hidup doa dan panggilan menyimpan pertanyaan, apakah cukup dengan doa saja dalam menghayati panggilan Tuhan? Doa memang penting dalam panggilan tetapi apa arti isi doa jika tidak dibarengi dengan tindakan? Doa, kesunyian, altar adalah titik pijak, dasar rohani yang kuat untuk peralihan kepada aksi, aktif dalam dunia menyebarkan kasih Tuhan dengan ada bersama mereka yang menderita. Kehadiran inilah yang menjadi doa nyata dan sukacita injili. Actio adalah jawaban dari hidup doa menuju kemanusiaan.

Actio: Jalan Menuju Kemanusiaan
Hidup beriman orang terpanggil harus sampai pada aksi kasih yang riil demi kemanusiaan. Yosep Titus, seorang ahli Kitab Suci Katolik di Banglore India, menyebut karakter iman yang asali sebagai berikut. Iman adalah sebuah tindakan. Tindakan kebebasan manusia, sebuah tindakan pribadi yang dengannya seseorang masuk dalam relasi yang terbuka. Iman selalu aktif dalam seluruh tatanan kehidupan manusia. Aksentuasi iman adalah aksi yang tidak pernah terlepas dari relasi dengan manusia.[6] Karena itu tidak cukup dengan doa saja dalam menjalani panggilan tetapi juga kepenuhannya lahir dalam perbuatan kasih. Doa tetap penting dan utama tetapi aksi juga penting demi kemantapan iman dan terkabulnya doa.
Sudah saatnya orang terpanggil, para imam, biarawan-biarawati beralih dari contemplatio kepada actio. Agama harus menjadi religion of humanity dan Gereja harus “menceburkan diri ke jalan-jalan” (Paus Fransiskus) demi sukacita injili dan harmoni kemanusian. Fajar pelayanan kemanusiaan segera terbit supaya umat manusia mengalami hangat mentari kasih Allah. Dinamika ini menjadi tuntutan fundamental hidup beriman orang terpanggil sebab iman tanpa perbuatan adalah mati, fides sine operibus mortura est (Yak 2:17).

Penutup
Peralihan atau dinamika passing over menjadi panggilan utama pelayanan misioner dewasa ini di tengah pudarnya nilai kemanusiaan. Orang terpanggil tidak bisa tinggal diam dalam kenyaman bersama diri sendiri atau hanya aktif di altar dan mimbar, tetapi harus “berkeliling” mengunjungi yang sakit dan menderita. Gerak pindah ini merupakan dinamika iman dalam penghayatan konkret dari doa. Hidup beriman dan beragama serta penghayatan kaul mencapai kepenuhannya dalam tindakan kasih dan kebaikan. Jawaban iman ini mampu menghadirkan Kerajaan Allah di tengah dunia. Maka setelah doa, “Tuhanku, di pintu-Mu aku mengetuk, aku tak bisa berpaling” (C. Anwar) kita turun ke Yerusalem mengalami realitas dunia saat ini, mewartakan Kabar Baik, memberi pakian kepada yang telanjang, air untuk yang dahaga, tumpangan kepada yang tak punya rumah. Contemplatio orang terpanggil terpenuhi dalam actio. Karena itu, beralihlah, duc in altum supaya Kerajaan Allah tetap hidup di bumi yang fana ini.




[1]Tindakan iman memiliki tiga dimensi yaitu, pertama dimensi intelektual yang menyatakan penerimaan akan wahyu Allah sebagai kebenaran iman. Menerima dan mengimani wahyu Allah memberi arti, nilai dan makan untuk hidupku. Istilah klasik untuk dimensi ini disebut credere Deum (mengimani Allah) atau fides quae creditor (iman yang dipercayai). Kedua, dimensi afektif bahwa kita percaya kepada Allah yang selalu menjalin relasi dan persahabatan dengan manusia dan memanggil kita kepada komunio dengan-Nya. Kepercayaan yang mendalam kepada Allah diungkapkan dalam credere Deo (percaya akan Allah) atau fides qua creditor (iman yang olehnya kita percaya). Ketiga, dimensi perilaku sebagai implikasi dan realisasi dari dua dimensi sebelumnya dalam penghayatan menjalankan moralitas dan perbuatan baik dalam hidup sehari-hari. Mengimani Allah berarti melakoni cara bertindak atau cara hidup yang sesuai dengan tindakan Allah yang penuh rahmat, cinta kasih, keadilan dan integritas. Segi iman ini disebut credere in Deum (percaya akan Allah). Bdk., Remegius Ceme, SVD., Mengungkap Relasi Dasar Allah dan Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017) Cet. II., hlm. 117-118.
[2]Ibid., hlm. 74.
[3]Ibid., hlm. 104.
[4]Staf  Yayasan  Cipta  Loka  Caraka, Ensiklopedi Populer tentang Gereja (Jakarta: Yayasan Kanisius, ….), hlm. 44-45.
[5]Josef Boumans, SVD., Menjadi Imam Allah. Tuntunan Khawalat Menjelang Tahbisan Imam (Jakarta: Obor, 2000), hlm. 116-117.
[6]Silvester Manek Eko, “Mepertanyakan Otensitas Iman dalam Potret Buram Wajah Kemanusiaan”, Vox (59/0/2014), hlm. 16.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WAJAHMU

Untukmu, Perempuan yang Berwajah “ Wajah perempuan adalah langit malam purnama. Merona dengan kemesraan yang dalam. Lelaki yang memandangnya hanya bisa memandang penuh kagum sejuta puji, tetapi tak pernah bisa meraih keadalaman rahasia wajah bulan purnama dari seorang perempuan. Wajah perempuan, cahaya permata yaspis, cemerlang bintang kejora, milikmu! Aku ingin merangkulnya dengan ciuman-ciuman .” ~Edy Soge Ef Er~   Hello Puan, Tangan Tuhan telah membentukmu dengan keagungan dan kecantikan. Perempuan, siapa pun dia, hitam atau putih, cantik atau norak, mulus atau menor, ia tetap indah. Hati perempuan tetap indah. Itu tak tergantikan. Pancaran sinar hati terbit di dua pasang mata lalu cahaya itu merebak ke saraf-saraf di seputar wajah, kedua pasang pipi memerah dan wajah tampak bersinar bagai purnama, bagai kejora, bagai permata yaspis. Tuhan menciptakan perempuan sebagai keindahan. Karena itu saya sering mengakui dan tetap yakin bahwa perempuan adalah singgasana segala k...

MENDAMBA SAMBA

Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Costa, putri Samba kumendamba   Hewa, Juni 2016 Mendamba Samba        :a.c Bukan lelucuan tanpa romansa Saat santai kau dekatkan sapa rasa Membuncah ria menari jemari menyentuh bahu Kau poles jiwaku dengan canda yang kutahu Putri samba kumendamba Rekah bibir yang jujur Tawamu membawaku ke laut senyuman kau pandai mengganggu riak jiwaku mengagumimu belum cukup mendoakanmu belum tentu sempurna terpaksa aku mengerti dirimu dengan kata hati Auciliana Cos...

Via Dolorosa Tuhan dan Pandemi Covid-19

“Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga… tabir bait suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.”  (Mat27:45,51) Saya membayangkan suatu dunia yang sepi dan diliputi ketakutan. Dunia itu ibarat Golgota Tuhan. Banyak orang di sana. Berada dalam ketidaktentuan pilihan dan jawaban. Sebab imaji Golgota adalah ‘tengkorak’ (place of the skull), malam gelap wajah kematian, deru gemuruh malapetaka, segenap jasad berlabuh di sana. Orang-orang menjadi takut dan Tuhan sungguh amat kesepian ditinggal Bapa. Namun iman menjadi terang benderang di hadapan tapal batas kehidupan. Meski ditinggal Bapa Tuhan masih tetap pasrah, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Meski takut kepala pasukan tetap mengakui pribadi Ilahi Yesus, “Sungguh orang ini Anak Allah”. Penyamun tersalib menyadari imannya, “Yesus, ingatlah aku apabila Engkau datang sebagai Raja.” Iman kita diuji di dalam penderi...